Jumat, 22 Juni 2012

HASIL TES GURU DI TUNDA

KAMI MOHON MAAF HASIL TES GURU DAN TUTOR BIMBEL DI TUNDA SAMPAI TANGGAL 8 JULI 2012, DAN DIUMUMKAN SENIN, 9 JULI 2012. HARAP DIMAKLUMI. TERIMA KASIH

Kamis, 14 Juni 2012

UNDANGAN HAFLAH SEMUA WALI MURID AL FATIMAH

UNDANGAN:
Yth. Bapak/Ibu wali santri/murid (termasuk wali murid baru SMP dan SMA beserta murid baru) SMP/SMA Plus Al Fatimah Bojonegoro.

Di mohon kehadirannya besok pada :

Hari       : Minggu
Tanggal/Bulang   : 17 Juni 2012
Pukul     : 08.00-Selesai
Tempat   : Gedung SMP/SMA Plus Al Fatimah

Demikian Pemberitauan kami, atas kehadiranya kami sampaikan terima kasih.


a/n Kepala Sekolah
SMP/SMA Plus Al Fatimah Bojonegoro


TTD

Abdul Fatah, S.Pd.
Nomor HP. 085732715640

Senin, 11 Juni 2012

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOALAH

Pengertian Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah

Menurut Edmond (dalam Suryosubroto, 2004:208)
Manajemen Peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah.
Konsep ini diperkenalkan oleh teori effektif school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan. Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut : (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus-menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administrative, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/ perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan (Nurkholis, 2003:6). MBS pada prinsipnya bertumpu pada sekolah dan masyarakat serta jauh dari birokrasi yang sentralistik. MBS berpotensi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu pada tingkat sekolah. MBS dimaksudkan meningkatkan otonomi sekolah, menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan, dan mengelola sumber daya yang ada untuk berinovasi. MBS juga memiliki potensi yang besar untuk menciptakan kepala sekolah, guru, dan administrator yang profesional. Dengan demikian, sekolah akan bersifat responsif terhadap kebutuhan masing-masing siswa dan masyarakat sekolah. Prestasi belajar siswa dapat dioptimalkan melalui partisipasi langsung orang tua dan masyarakat.
Aldwell dan Spink (1988) dalam Teguh Winarno memandang MBS sebagai a self managing school yakni suatu sekolah yang telah mengadopsi desentralisasi yang berarti dan konsisten sehingga sekolah tersebut mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan alokasi sumber-sumber yang meliputi pengetahuan, teknologi, wewenang, material, orang, waktu dan keuangan (dikutip oleh Campbell–Evans dalam Dimmock (ed),1993: 93 dalam Teguh Winarno). Hal ini berarti bahwa sekolah yang menggunakan MBS memperoleh hak otonomi untuk mengelola sumber-sumber daya pedidikan yang dimilikinya.

Tujuan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah

Tujuan penerapan MBS untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kualitas kurikulum, kualitas
sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya, dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan atau otonomi kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya, Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah bertujuan untuk :

a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.(Depdiknas, 2001: 4)

Konsep dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional.
Oleh karena itu, esensi MPMBS adalah otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipasif untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi adalah kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orangtua siswa, masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu) dan partisipasi kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah merupakan ciri khas Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.


Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)
Salah satu issue penting tentang pendidikan saat ini berkenaan berkenaan dengan penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Dalam hal ini, tentunya konselor seyogyanya dapat memahami dan menangkap implikasinya bagi penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Oleh karena itu, tulisan ini, akan dipaparkan secara ringkas dan sederhana tentang Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dan Implikasinya terhadap Layanan Bimbingan dan Konseling Bahwa berangkat dari realita rendahnya kualitas pendidikan yang hampir terjadi di setiap jenjang dan satuan pendidikan, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional telah menggulirkan kebijakan pola manajemen pendidikan baru yang di dalamnya memuat kewenangan yang luas kepada sekolah untuk mengatur dan mengendalikan sekolah, dengan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah. Pola manajemen baru ini dikenal dengan istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau disingkat MPMBS.Sesungguhnya, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ini memiliki ruang lingkup bahasan yang amat luas, baik dilihat dari segi konsep maupun implementasinya, sehingga tidak mungkin untuk dapat dipaparkan secara menyeluruh melalui tulisan ini. Oleh karena itu, dalam tulisan ini hanya akan dibicarakan hal-hal yang berkenaan dengan penyelenggaraan layanan bimbingan konseling di sekolah, diantaranya akan dikemukakan tentang : (1) Pemberdayaan dan Profesionalisme Konselor; (2) Akuntabilitas Kinerja Konselor; dan (3) Konselor Sebagai Agen Informasi 1. Pemberdayaan dan Profesionalisme KonselorManajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya perubahan manajemen dari pendekatan sentralistik-birokratik menuju desentralistik-profesional. Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam pendekatan sentralistik-birokratik, konselor dalam melaksanakan tugasnya sudah ditentukan dan dipolakan sedemikian rupa oleh pusat, melalui berbagai bentuk aturan, ketentuan, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis dan sebagainya. Akibatnya, ruang gerak konselor menjadi terbatasi, sehingga pada akhirnya konselor menjadi kurang terbiasa dengan budaya kreatif dan inovatif.Aturan dan ketentuan yang kaku dan ketat telah menggiring dan memposisikan konselor pada iklim kerja yang tidak lagi didasari oleh sikap profesinal, namun justru lebih banyak sekedar menjalankan kewajiban rutin semata. Maka, muncullah berbagai sikap yang kurang menguntungkan, seperti : malas, masa bodoh dan tidak peduli terhadap prestasi kerja.Dengan hadirnya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang mengedepankan pendekatan desentralistik-profesional, maka ruang gerak konselor menjadi leluasa. Proses kreatif dan inovatif justru menjadi lebih utama. Konselor didorong untuk memiliki keberanian dan membiasakan diri untuk menemukan cara-cara baru yang lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan berbagai kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), konselor dituntut bekerja secara profesional.Dari sini, timbul pertanyaan hal-hal apa yang perlu disiapkan untuk menuju ke arah profesionalisme itu ? Dalam hal ini, tentu saja konselor seyogyanya dapat berusaha mengembangkan secara terus menerus kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, yang justru merupakan prasyarat untuk menjadi seorang profesional.Konselor seyogyanya tidak merasa cepat berpuas diri dengan kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang saat ini dimilikinya, namun justru harus senantiasa berusaha untuk memutakhirkan pengetahuan dan keterampilannya. Bagaimanapun, dalam era informasi sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bimbingan konseling dari waktu ke waktu berkembang secara sangat pesat. Sehingga seorang konselor dituntut untuk terus dapat mengantisipasi arah perkembangan yang terjadi, agar tidak menjadi terpuruk secara profesional.Upaya peningkatan kapasitas pengetahuan dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, bisa saja dilakukan melalui berbagai bacaan atau buku yang berhubungan dengan dunia bimbingan dan konseling, atau bahkan bila perlu dilakukan dengan cara melalui penjelajahan situs-situs dalam internet, yang memang banyak menyediakan berbagai informasi terkini, termasuk yang berhubungan dengan bimbingan dan konseling. Sedangkan secara langsung, bisa dilakukan dengan cara melibatkan diri dalam berbagai aktivitas forum keilmuan, seperti : seminar, penataran dan pelatihan, atau mengikuti kegiatan MGP seperti sekarang ini. Bahkan, akan lebih baik jika timbul kemauan untuk berusaha menuntut ilmu melalui jenjang pendidikan formal.Kita maklumi bahwa saat ini latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh konselor masih beragam, baik dilihat dari program studi/jurusan maupun jenjangnya. Bagi konselor yang berlatar belakang pendidikan program studi bimbingan, barangkali tidak ada salahnya untuk berusaha menempuh pendidikan lanjutan pada jenjang yang lebih tinggi. Sementara, bagi kawan-kawan konselor yang kebetulan bukan berlatar belakang pendidikan bimbingan, dalam rangka memantapkan diri sebagai konselor, tidak ada salahnya pula untuk mencoba terjun menekuni dunia akademis dalam bimbingan dan konseling. Sehingga pada gilirannya, dalam melaksanakan berbagai tugas bimbingan, konselor benar-benar telah ditopang oleh fundasi keilmuan yang mantap dan memadai.Sedangkan untuk meningkatkan keterampilan berbagai teknik bimbingan, salah satu cara yang dipandang cukup efektif adalah dengan berusaha secara terus menerus dan seringkali mempraktekkan berbagai teknik yang ada. Misalkan, untuk menguasai teknik-teknik konseling, tentunya konselor harus mempraktekkan sendiri secara langsung, dan setiap setelah selesai mempraktekkan, diikuti dengan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan. Kemudian, membandingkannya dengan keharusan-keharusan berdasarkan teori yang ada, sehingga akan bisa diketahui kelemahan dan keunggulan dari praktek yang telah dilakukan. Memasuki tahap praktek konseling berikutnya tentunya sudah disertai usaha perbaikan, dengan bercermin dari kekurangan- kekurangan pada praktek konseling sebelumnya. Hal ini secara terus menerus dilakukan dari satu praktek konseling ke praktek konseling berikutnya, dan sebaiknya disertai pula dengan pencatatan terhadap apa-apa yang telah dilakukan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan refleksi sekaligus sebagai bukti fisik dari usaha ilmiah. Berbekal kesabaran dan ketekunan, usaha ini niscaya pada akhirnya akan dapat mengantarkan sampai pada taraf yang dikehendaki. Walaupun demikian perlu dicatat, bahwa keleluasaan dalam menjalankan tugas ini tidak diartikan segala sesuatunya menjadi serba boleh, hal-hal yang menyangkut prinsip dan etika profesi bimbingan tetap harus dijaga dan dipelihara, sejalan dengan tuntutan profesionalisme.2. Akuntabilitas Kerja KonselorPada masa sebelum diberlakukan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), akuntabilitas kerja konselor memang tidak jelas. Sekalipun ada, barangkali hanya sebatas di hadapan kepala sekolah ataupun pengawas sebagai petugas yang mewakili pihak pemerintah. Namun pada kenyataannya, seringkali kepala sekolah atau pengawas mengambil sikap permisif atas hasil kerja yang ditunjukkan konselor, padahal hasil kerja yang ditunjukkan sama sekali tidak bermutu. Akuntabilitas semacam ini tentunya tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja dan produktivitas konselor.Memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), dengan sendirinya akuntabilitas konselor semakin luas, tidak hanya dihadapan kepala sekolah ataupun pengawas, namun mencakup seluruh pemegang saham (stake holder) dalam bidang pendidikan, terutama masyarakat dan orang tua siswa.
Bagaimanapun masyarakat, khususnya orang tua siswa telah rela berkorban mengeluarkan sejumlah dana untuk kepentingan pendidikan anaknya. Jadi wajar sekali, kalau saja mereka menuntut pertanggungjawaban kepada sekolah dan kepada konselor khususnya atas hasil-hasil kerja yang telah dilakukan, demi keberhasilan dan kemajuan peserta didik. Artinya, jumlah dana yang dikeluarkan oleh orangtua/masyarakat seyogyanya dapat sebanding dengan hasil yang dicapai, dalam bentuk kemajuan dan keberhasilan pendidikan anaknya di sekolah.
Dengan adanya akuntabilitas ini, jelas konselor dituntut untuk lebih meningkatkan mutu kinerja dan tingkat produktivitas dalam memberikan layanan bantuan terhadap para siswa. Jika hal ini tidak terpenuhi maka konselor harus bersiap-siap untuk menerima berbagai complain dari masyarakat yang mungkin tidak mengenakkan. Apalagi dengan kehadiran Komite Sekolah yang dianggap sebagai lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat, maka masyarakat akan jauh lebih terbuka dan leluasa untuk menyampaikan berbagai ketidakpuasan atas hasil-hasil kerja yang telah dicapai oleh konselor. Tentu saja, kita tidak menghendaki hal-hal seperti itu. Tak ada cara lain untuk mengantisipasinya, kecuali dengan menunjukkan bukti-bukti nyata atas segala hasil kerja kita. Manakala kita telah berhasil membuktikan hasil-hasil kerja yang menggembirakan dan memberi kepuasan kepada masyarakat, bersamaan itu pula akan tumbuh kepercayaan terhadap sekolah, khususnya kepada bimbingan dan konseling. Dan pada gilirannya, tidak akan ada keraguan lagi dari masyarakat untuk memberikan dukungan penuh terhadap sekolah, khususnya kepada bimbingan dan konseling untuk terus melaksanakan kiprahnya. Dalam hal ini, berapa besar dana yang harus dikeluarkan tidak lagi menjadi persoalan besar, yang penting prestasi anak benar-benar dapat terwujudkan dengan baik, baik dalam akademik maupun non-akademik
3. Konselor Sebagai Agen Informasi
Penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya kewenangan sekolah dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat berusaha melibatkan diri dalam berbagai proses pengambilan keputusan.
Karena, bagaimanapun konselor bisa dianggap sebagai “orang yang paling banyak tahu” tentang keadaan siswanya secara personal. Dengan kata lain, konselor dianggap sebagai orang yang memiliki informasi atau data tentang siswa yang lebih lengkap dan memadai. Informasi atau data tentang siswa ini ini sangat berguna dan dapat dijadikan dasar untuk berbagai pengambilan keputusan sekolah yang berkenaan dengan siswa. Oleh sebab itu, informasi harus diadministrasikan sedemikian rupa dan siap saji (ready for use), kapan saja diperlukan. Bahkan bila perlu, pengadminstrasian informasi ini dilakukan secara computerize, karena saat ini telah dikembangkan berbagai software, yang berhubungan dengan data siswa, seperti Program DataSis dan Program Alat Ungkap Masalah (AUM) yang dikembangkan Prof. Dr. Prayitno. Atau secara kreatif, konselor dapat menciptakan berbagai software tentang bimbingan dan konseling sesuai dengan kebutuhan kerja, yang sekiranya dapat membantu mempermudah pengadministrasian dan penyajian data. Dengan sendirinya, dalam hal ini konselor dituntut untuk memahami dan menguasai teknologi komputer.
Hal yang perlu dicermati, bahwa dalam mengkomunikasikan informasi tentang siswa kepada pihak-pihak terkait, seperti kepala sekolah, dewan sekolah atau siapa pun, konselor harus dapat memilah dan memilih jenis informasi apa saja yang boleh dan tidak tidak boleh untuk disampaikan. Tentu saja, informasi-informasi yang berkenaan dengan “ prinsip kerahasiaan klien “ harus tetap dijaga sebaik mungkin.
Dalam mengkomunikasikan informasi-informasi tentang siswa, yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan, khususnya dalam forum Komite Sekolah, konselor hendaknya dapat menyampaikan pandangan-pandangannya secara tegas, yang berpihak pada kepentingan siswa itu sendiri. Walau pun mungkin akan didapatkan berbagai benturan sosial di dalamnya, karena pemahaman dan persepsi anggota Komite Sekolah tentang bimbingan dan konseling akan sangat beragam bahkan mungkin sangat kurang.
Satu hal lagi bahwa dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan bimbingan ini konselor hendaknya memperhatikan pengembangan kerja sama, koordinasi dan sinergis kerja dengan berbagai komponen pendidikan lainnya. Karena dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), keberhasilan pendidikan di sekolah tidak lagi didasarkan pada individual yang cerdas, akan tetapi sangat mengutamakan pada team work yang cerdas dan kompak. Untuk itulah, konselor sedapat mungkin harus menjadi bagian utama dari team work tersebut.

PENGETAHUAN FISIKA DAN MATEMATIKA

FISIKAWAN ISLAM
MENDAHULUI ZAMAN
Abdul Fatah, S.Pd. (Guru Fisika)

Kaum muslim meyakini bahwa semua pengetahuan berasal dari Allah, dan Al Qur’an adalah kalamullah. Maka sebagai sumber pengetahuan, Al Qur’an pastilah benar. Apakah juga pengetahuan tentang zat, energi, ruang-waktu dan interaksi benda-benda di alam ini, yang sering disebut dengan “Fisika”?
Sebagian muslim dengan mantap mengatakan ya. Maka munculah istilah “Fisika Islam”. Ini adalah sejumlah teori atau lebih tepatnya “hepotesa” dari suatu hukum fisika yang diklaim mereka temukan di dalam Al Qur’an. Sekedar ilustrasi, ada tiga contoh di sini: (1). Teori bahwa bumilah yang pusat tata surya (geosentris), bahkan alam semesta, karena di Al Qur’an tidak perna ada ayat yang menyatakan bumi beredar, tetapi matahari, bulan dan bintanglah yang beredar (QS 13:2, 14:33). Teori ini bahkan didukung seorang syeikh terkemuka dari Saudi Arabia, yang memfatwakan bahwa percaya kepada teori heliosentris bisa menjerumuskan pada kemusyrikan. (2) Teori bahwa besi magnet dapat digunakan sebagai pembangkit energi yang tak ada habisnya, dengan dalil QS 57:25 yang menyatakan bahwa Allah menciptakan besi yang di dalamnya terdapat kekuatan yang hebat, yang ia tafsirkan sebagai energi. (3) Teori tujuh lapis atmosfir, karena dikatakan hujan turun dari langit QS 35:27 sedang Allah menciptakan tujuh langit QS 41:12 sehingga hujan itu terjadi pada lapis langit pertama.
Melihat teori dan klaim tersebut, sepertinya mereka mengulang apa yang perna dilakukan kaum mutakalimin (pecinta filsafat) di masa lalu, yang mencari-cari suatu kesimpulan hanya berdasarkan asumsi, sekalipun asumsi itu berasal dari suatu ayat Al Qur’an yang ditafsirkan secara subjektif. Tentu saja, cara berfikir mutakalimin seperti ini tidak pernah menghasilkan terobosan ilmiah yang hakiki, apalagi dapat dipakai untuk keperluan praktis.
Para fisikawan muslim di masa keemasan Islam adalah orang-orang yang dididik dari awal dengan aqidah Islam. Rata-rata mereka hafal Al Qur’an sebelum berusia baligh. Dan mereka sangat memahami bahwa alam memiliki hukum-hukumnya yang objektif, yang dapat terungkat sendiri pada mereka yang sabar melakukan pengamatan dan penelitian dengan cermat.
Ibn al Haytsam (al-Hazen) adalah pioner optika modern ketika menerbitkan bukunya pada tahun 1021. Dia menemukan bahwa proses melihat adalah jatuhnya cahaya ke mata, bukan karena sorot mata sebagaimana diyakini orang sejak zaman Aristoteles. Dalam kitabnya al-Haytsam menunjukkan berbagai cara membuat teropong dan juga kamera sederhana (camare obscura).
Menarik untuk mengetahui bahwa al-Haytsam melakukan eksperimen optiknya ini pada saat ia mengalami tahanan rumah, setelah gagal memenuhi tugas Amir Mesir untuk mewujudkan proyek bendungan sungai Nil. Dia baru dilepas setelah penemuan-penemuan optiknya dinilai impas untuk investasi yang telah dikeluarkan sang Amir.
Ibn al-Haytsam juga memulai suatu tradisi metode ilmiah untuk menguji sebuah hepotesis, 600 tahun mendahului Rene Descartes yang dianggap Bapak Metode Ilmiah Eropa di zaman Rennaisance. Metode ilmiah ibn al-Haytsam dimulai dari pengamatan empiris, perumusan masalah, formulasi hipotesis, uji hipotesis dengan eksperimen, analisis hasil eksperimen, interprestasi data dan formulasi kesimpulan, dan diakhiri dengan publikasi. Publikasi ini kemudian dinilai oleh peer-review yang memungkinkan setiap orang melacak dan bila perlu mengulangi apa yang dikerjakan seorang peneliti. Proses peer-review telah menjadi tradisi dalam dunia medis sejak Ishaq bin Ali al Rahwi (854-931).
Ibnu Sina alias Avicenna (980-1037) setuju bahwa kecepatan cahaya pasti terbatas. Abu Rayhan al-Biruni (973-1048) juga menemukan bahwa cahaya jauh lebih cepat dari suara. Qutubuddin al-Syirazi (1236-1311) dan Kamaluddin al-Farisi(1260-1320) memberi penjelasan pertama yang benar pada fenomena pelangi.
Di dunia mekanika Ja’far Muhammad ibn Musa ibn Syakir (800-873) dari Banu Musa berhipotesis bahwa benda-benda langit dan “lapisan langit” adalah subjek yang mengalami hukum-hukum fisika yang sama dengan bumi.
Al-Biruni dan belakangan al-Khazini mengembangkan metode eksperimental dalam statika dan dinamika, kemudian juga hidrostatika dan hidrodinamika, yang sangat penting dalam pembuatan jembatan, bendungan ataupun kapal.
Pada tahun 1121, al-Khazani dalam kitab tentang “keseimbangan kebijaksanaan” mengusukan bahwa gravitasi dan energi potensialnya berubah tergantung jaraknya dari pusat bumi. Dia juga secara tegas membedakan antara gaya, massa dan berat. Penemuan ini berguna untuk membuat kincir bertenaga air.
Ibnu Bajah (Avempace) yang wafat 1138 berargumentasi bahwa selalu ada reaksi pada setiap aksi. Teorinya ini sangat berpengaruh pada fisikawan setelahnya, termasuk Galileo dan Newton, dan sangat berguna untuk menghitung kekuatan manjaniq, yakni ketapel raksasa yang berfungsi seperti meriam.
Hibatullah Abu’l-Barakat al-Baghdadi (1080-1165) membantah Aristoteles yang mengatakan bahwa gaya yang konstan akan menghasilkan gerak yang seragam, ketika dalam kitabnya al-Mu’tabar dia menulis bahwa gaya konstan akan menghasilkan percepatan (akselerasi). Menurutnya akselerasi adalah rerata dari perubahan kecepatan.
Ibnu Rusyd alias Averroes (1126-1198) adalah mujtahid dalam fiqih yang juga fisikawan, terbukti dalam salah satu kitabnya dia mendefinisikan gaya sebagai tingkat kerja yang harus dilakukan untuk mengubah kondisi kinetik daru sebuah benda yang lembam. Apa yang ditulis ibnu Rusyd ini 500 tahun lebih awal dari mekanika klasik Newton.
Semua ilustrasi ini menunjukkan bahwa Fisika Islam kalaupun ada-adalah fiska yang telah melalui rangkaian metode ilmiah, yang kemudian terbukti dapat digunakan untuk keperluan praktis. Fisika sebagai ilmu pengetahuan empiris dapat diraih oleh penelti manapun yang sabar, tanpa memandang apa keyakinan aqidahnya. Kebenaran fakta fisika tidak perlu didukung dan tidak akan mengusik ayat Al Qur’an manapun, karena keduanya memiliki ruang lingkup yang berbeda. Memaksa-maksa agar suatu fakta fisika cocok dengan sebuah ayat atau sebaliknya, justru menunjukkan kelemahan pemahaman kita sendiri, baik terhadap fakta fisika, maupun terhadap isi Al Qur’an sendiri. Dan ini semua tidak pernah dialami oleh para fisikawan di masa keemasan Islam.



Matematikawan Mulia, Merindukan Surga
Oleh : Rohmah, S.Pd (Guru Matematika SMA Plus Al Fatimah).*)
Jurusan matematika oleh sebagian kalangan masih dianggap sebagai jurusan “elit”, terbukti  ketika seleksi  penerimaan mahasiswa baru baik kampus negeri maupun swasta peminatnya pasti jauh melebihi kuota yang dibutuhkan. Ada yang mempertimbangkan jam  kuliah relatif singkat tanpa praktikum-praktikum di laborat seperti ilmu-ilmu sains sehingga berpeluang kuliah sambil kerja semisal kasih privat ataupun lainnya.
 Namun berbeda jika nuansa yang dilirik adalah di PT berbasis tehnik, jurusan  matematika  sering dijuluki “ningrat” – pening tapi melarat. Sekolahnya susah, tapi setelah lulus cari kerja juga susah. Paling nanti jadi guru …  Ini adalah ucapan seorang tua pada anaknya yang kelihatan cerdas. Si orang tua ingin anaknya jadi insinyur atau dokter, atau akuntan, atau pengacara, profesi-profesinya yang secara materi jelas lebih menjanjikan daripada profesi ilmuwan seperti matematikawan. Sekolah untuk profesi-profesi itu yang susah hanya saringan masuknya karena begitu banyak orang yang berminat, dan begitu sedikit kursi yang tersedia.  Selebihnya, proses belajar mengajarnya tidak sesulit jurusan matematika.
Tetapi matematika adalah indikator peradaban.  Setiap kali anthropolog, arkeolog atau sejarawan menemukan bahwa suatu etnik atau suatu peradaban pastilah ada itung-itungan njelimet disitu. Jika di suatu masa telah etnik tersebut telah menyibukkan diri dengan matematika, maka mereka mengidentifikasi bahwa etnik atau peradaban itu telah maju. Saat inipun suatu sekolah yang anak didiknya menjuarai olimpiade Matematika juga bisa dikatakan bahwa sekolah itu maju.
Banyak bangsa kuno yang telah menyibukkan diri dengan matematika. Bangsa Mesir kuno pun dalam membangun piramidnya tidak mungkin bekerja tanpa matematika, dalam hal ini geometri. Bangsa Maya di Amerika sebelum kedatangan orang Eropa juga telah menyibukkan diri dengan matematika, yang tercermin pada sistem kalender mereka yang amat rumit dan teliti. Hal serupa juga ada pada bangsa Yunani, India dan Cina. Ornamen-ornamen di istana atau tempat ibadah mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki cita rasa matematika.
Namun dari berbagai kajian etnik-etnik secara matematis  itu, yang paling menarik adalah dari peradaban Islam. Matematika Islam adalah satu-satunya fenomena matematika yang menggabungkan unsur transendental (mendekatkan diri kepada Tuhan) dengan unsur praktis. Ornamen simetri geometri seperti pada peradaban Yunani, India dan Cina juga ditemukan dalam peradaban Islam, namun dengan tingkat kerumitan yang lebih tinggi. Ornamen ini juga tidak cuma dibuat dengan teknik replikasi/pengulangan, tetapi bahkan  dirumuskan secara hitungan matematika, yakni melalui deret binomial.  Dengan  matematika ini bisa dihitung secara akurat panjang atau luasan benda itu secara fisis, misalnya jumlah batu atau volume cat berwarna tertentu yang dibutuhkan.
Muhammad al-Khawarizmi (abad 9 M), Syaikhul  Islam penemu angka nol  pernah menjabat Mas’ul Baitul Hikmah di Baghdad,sekaligus penemu aljabar ternyata juga inovator beberapa deret matematika yang bisa diwujudkan dalam pola-pola simetri komplek / rumit yang sangat indah.  Pekerjaan al-Khawarizmi ini kemudian dilanjutkan antara lain oleh Muhammad al-Karaji (abad 10 M), yang melengkapi matematika dengan aljabar kalkulus. Dia bisa membuktikan kebenaran hasil suatu deret dengan nilai sangat besar cukup secara induksi matematika, tanpa perlu lagi menggunakan geometri.

Dua ratus tahun setelah al-Karajji, Umar Khayyam (abad 12 M) yang lebih terkenal sebagai penyair, melakukan pekerjaan penting dalam matematika dan astronomi, yakni memecahkan persamaan pangkat dua, tiga, hingga pangkat tinggi (disebut juga “persamaan pangkat n”).  Dengan demikian Umar Khayyam telah mendirikan disiplin baru: “algebraic geometry”.  Apa yang dilakukannya ini 500 tahun lebih awal dari matematikawan Italia Ferro dan Tartaglia.

Algebraic-geometri ini membuka jalan Nasiruddin at-Tusi untuk mengembangkan trigonometri sferis, yakni menghitung sudut dan jarak di atas permukaan bola. Umat Islam saat itu sudah yakin bahwa bentuk bumi adalah mirip bola, sehingga mereka melakukan astronomi praktis untuk keperluan
navigasi di laut maupun untuk pemetaan di darat menggunakan hitungan trigonometri sferis. Pada bidang datar, jumlah sudut segitiga adalah 180 derajat. Tetapi di permukaan bola, jumlah sudut segitiga bisa lebih dari 180 derajat. Inilah temuan penting matematikawan Muslim, ketika dunia Barat saat itu bahkan masih meragukan bahwa bumi adalah bola.
Jika disingkronkan dengan kondisi saat ini seorang guru matematika sudah boleh dibilang seorang matematikawan bagi  murid-muridnya. Derajad Muslim bagi seorang guru matematika  harusnya mampu menjiwai setiap  materi  matematika yang disampaikan kepada para murid sehingga akan memberikan “ruh”  dalam kehidupan generasi  muda Islam dalam mencari solusi terhadap permasalahan kehidupan. Materi  bilangan bulat dan pecah akan sangat bermanfaat dalam aplikasi pembagian waris sesuai dengan ilmu faraidh, materi  integral juga akan membawa pengaruh tingginya kekuatan Aqidah Islamiyah bagi anak didik karena dengan ketelatenan,ketelitian dalam menghitung hasil pengintegralan akan tertanam rasa optimisme dalam hidup hingga tidak mudah bunuh diri, apapun masalah yang ia hadapi.
 Keharusan tepat  dalam menghitung aljabar,geometri, polinomial, akan mampu melahirkan generasi yang taat syari’ah karena jika sedikit saja berbelok maka akan terjadi kesalahan yang fatal. Harusnya dapat skor 10 yang berarti surga jika lengah maka akan berbalik menjadi skor 0 yang bermakna sengsara/neraka.
Ketelatenan guru dalam membimbing para murid, cara menegur, cara memotivasi akan dijadikan cermin murid dalam ber’amar ma’ruf nahi munkar di masyarakat dengan senantiasa berpedoman pada rumus-rumus yang ada,yang berarti senantiasa menjadikan Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai rujukan utama. Semangat guru dalam mengenalkan materi baru,akan melahirkan kerinduan murid untuk berjumpa dengan matematika.kephobian terhadapnya akan hilang manakala guru hadir dengan senyum merekah tanpa menunjukkan sedikitpun ekspresi kengerian, atau ke’galau’an akan kemampuan murid-muridnya akan bisa mendorong kecintaan dan kerinduan anak didik untuk diterapkannya Islam dalam kehidupan,karena sesungguhnya Islam Rahmatan Lil’aalamien.  
Kebiasaan guru mengajak siswa menelaah rumus dan mengaplikasikannya pada soal agar mendapatkan nilai maksimal,juga  mendorong guru matematika  untuk senantiasa mengajak mereka untuk menelaah Al-Qur’an sekaligus mengamalkannya dalam kehidupan agar gelar insan kamil bisa teraih. Jika seluruh guru matematika senantiasa belajar untuk menghidupkan matematika dengan ruh Islam, maka impian menghadirkan generasi muslim rabbani yang cinta matematika akan terwujud yaitu menjadi matematikawan mulia yang dirindukan surgaNya.