Jumat, 22 Juni 2012
HASIL TES GURU DI TUNDA
KAMI MOHON MAAF HASIL TES GURU DAN TUTOR BIMBEL DI TUNDA SAMPAI TANGGAL 8 JULI 2012, DAN DIUMUMKAN SENIN, 9 JULI 2012. HARAP DIMAKLUMI. TERIMA KASIH
Kamis, 14 Juni 2012
UNDANGAN HAFLAH SEMUA WALI MURID AL FATIMAH
UNDANGAN:
Yth. Bapak/Ibu wali santri/murid (termasuk wali murid baru SMP dan SMA beserta murid baru) SMP/SMA Plus Al Fatimah Bojonegoro.
Di mohon kehadirannya besok pada :
Hari : Minggu
Tanggal/Bulang : 17 Juni 2012
Pukul : 08.00-Selesai
Tempat : Gedung SMP/SMA Plus Al Fatimah
Demikian Pemberitauan kami, atas kehadiranya kami sampaikan terima kasih.
a/n Kepala Sekolah
SMP/SMA Plus Al Fatimah Bojonegoro
TTD
Abdul Fatah, S.Pd.
Nomor HP. 085732715640
Yth. Bapak/Ibu wali santri/murid (termasuk wali murid baru SMP dan SMA beserta murid baru) SMP/SMA Plus Al Fatimah Bojonegoro.
Di mohon kehadirannya besok pada :
Hari : Minggu
Tanggal/Bulang : 17 Juni 2012
Pukul : 08.00-Selesai
Tempat : Gedung SMP/SMA Plus Al Fatimah
Demikian Pemberitauan kami, atas kehadiranya kami sampaikan terima kasih.
a/n Kepala Sekolah
SMP/SMA Plus Al Fatimah Bojonegoro
TTD
Abdul Fatah, S.Pd.
Nomor HP. 085732715640
Senin, 11 Juni 2012
MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOALAH
Pengertian Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Menurut Edmond (dalam Suryosubroto, 2004:208) Manajemen Peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah.
Konsep ini diperkenalkan oleh teori effektif school
yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan. Beberapa
indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain
sebagai berikut : (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah
memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat,
(iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru,
dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan
staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan
evaluasi yang terus-menerus terhadap berbagai aspek akademik dan
administrative, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/ perbaikan mutu,
dan (vii) adanya komunikasi dan
dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk
alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan (Nurkholis,
2003:6). MBS pada prinsipnya bertumpu pada sekolah dan masyarakat serta jauh
dari birokrasi yang sentralistik. MBS berpotensi untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu pada tingkat
sekolah. MBS dimaksudkan meningkatkan otonomi sekolah, menentukan sendiri apa
yang perlu diajarkan, dan mengelola sumber daya yang ada untuk berinovasi. MBS
juga memiliki potensi yang besar untuk menciptakan kepala sekolah, guru, dan
administrator yang profesional. Dengan demikian, sekolah akan bersifat
responsif terhadap kebutuhan masing-masing siswa dan masyarakat sekolah.
Prestasi belajar siswa dapat dioptimalkan melalui partisipasi langsung orang
tua dan masyarakat.
Aldwell dan
Spink (1988) dalam Teguh Winarno memandang MBS sebagai a self managing school
yakni suatu sekolah yang telah mengadopsi desentralisasi yang berarti dan
konsisten sehingga sekolah tersebut mempunyai wewenang untuk mengambil
keputusan-keputusan yang berhubungan dengan alokasi sumber-sumber yang meliputi
pengetahuan, teknologi, wewenang, material, orang, waktu dan keuangan (dikutip
oleh Campbell–Evans dalam Dimmock (ed),1993: 93 dalam Teguh Winarno). Hal ini
berarti bahwa sekolah yang menggunakan MBS memperoleh hak otonomi untuk
mengelola sumber-sumber daya pedidikan yang dimilikinya.
Tujuan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Tujuan penerapan MBS untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kualitas kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya, dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum.
Tujuan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Tujuan penerapan MBS untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kualitas kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya, dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah bertujuan
untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan atau
otonomi kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan
keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya, Manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah bertujuan untuk :
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian
dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya yang
tersedia.
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.(Depdiknas, 2001: 4)
Konsep dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.(Depdiknas, 2001: 4)
Konsep dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)
dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar
kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan
secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai
tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional.
Oleh karena itu, esensi MPMBS adalah otonomi sekolah
dan pengambilan keputusan partisipasif untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi adalah kewenangan/kemandirian yaitu
kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak
tergantung. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan
mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan
nasional yang berlaku.
Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara
untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan
demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orangtua siswa,
masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan
keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar
dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun
rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan
evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu) dan partisipasi kelompok-kelompok yang
berkepentingan dengan sekolah merupakan ciri khas Manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah.
Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)
Salah satu
issue penting tentang pendidikan saat ini berkenaan berkenaan dengan penerapan Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Dalam hal ini, tentunya konselor
seyogyanya dapat memahami dan menangkap implikasinya bagi penyelenggaraan
bimbingan dan konseling. Oleh karena itu, tulisan ini, akan dipaparkan secara
ringkas dan sederhana tentang Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS) dan Implikasinya terhadap Layanan Bimbingan dan Konseling Bahwa
berangkat dari realita rendahnya kualitas pendidikan yang hampir terjadi di
setiap jenjang dan satuan pendidikan, pemerintah melalui Departemen Pendidikan
Nasional telah menggulirkan kebijakan pola manajemen pendidikan baru yang di
dalamnya memuat kewenangan yang luas kepada sekolah untuk mengatur dan
mengendalikan sekolah, dengan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang
melibatkan langsung semua warga sekolah. Pola manajemen baru ini dikenal dengan
istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau disingkat
MPMBS.Sesungguhnya, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ini
memiliki ruang lingkup bahasan yang amat luas, baik dilihat dari segi konsep
maupun implementasinya, sehingga tidak mungkin untuk dapat dipaparkan secara
menyeluruh melalui tulisan ini. Oleh karena itu, dalam tulisan ini hanya akan
dibicarakan hal-hal yang berkenaan dengan penyelenggaraan layanan bimbingan
konseling di sekolah, diantaranya akan dikemukakan tentang : (1) Pemberdayaan
dan Profesionalisme Konselor; (2) Akuntabilitas Kinerja Konselor; dan (3)
Konselor Sebagai Agen Informasi 1. Pemberdayaan dan Profesionalisme KonselorManajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya perubahan manajemen dari
pendekatan sentralistik-birokratik menuju desentralistik-profesional.
Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam pendekatan sentralistik-birokratik, konselor
dalam melaksanakan tugasnya sudah ditentukan dan dipolakan sedemikian rupa oleh
pusat, melalui berbagai bentuk aturan, ketentuan, petunjuk pelaksanaan,
petunjuk teknis dan sebagainya. Akibatnya, ruang gerak konselor menjadi
terbatasi, sehingga pada akhirnya konselor menjadi kurang terbiasa dengan
budaya kreatif dan inovatif.Aturan dan ketentuan yang kaku dan ketat telah
menggiring dan memposisikan konselor pada iklim kerja yang tidak lagi didasari
oleh sikap profesinal, namun justru lebih banyak sekedar menjalankan kewajiban
rutin semata. Maka, muncullah berbagai sikap yang kurang menguntungkan, seperti
: malas, masa bodoh dan tidak peduli terhadap prestasi kerja.Dengan hadirnya
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang mengedepankan
pendekatan desentralistik-profesional, maka ruang gerak konselor menjadi
leluasa. Proses kreatif dan inovatif justru menjadi lebih utama. Konselor
didorong untuk memiliki keberanian dan membiasakan diri untuk menemukan
cara-cara baru yang lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan berbagai
kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, memasuki alam
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), konselor dituntut bekerja
secara profesional.Dari sini, timbul pertanyaan hal-hal apa yang perlu
disiapkan untuk menuju ke arah profesionalisme itu ? Dalam hal ini, tentu saja
konselor seyogyanya dapat berusaha mengembangkan secara terus menerus kapasitas
pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, yang justru merupakan prasyarat
untuk menjadi seorang profesional.Konselor seyogyanya tidak merasa cepat berpuas
diri dengan kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang saat ini dimilikinya,
namun justru harus senantiasa berusaha untuk memutakhirkan pengetahuan dan
keterampilannya. Bagaimanapun, dalam era informasi sekarang ini perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bimbingan konseling dari waktu ke waktu
berkembang secara sangat pesat. Sehingga seorang konselor dituntut untuk terus
dapat mengantisipasi arah perkembangan yang terjadi, agar tidak menjadi
terpuruk secara profesional.Upaya peningkatan kapasitas pengetahuan dapat
dilakukan dengan berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara tidak langsung, bisa saja dilakukan melalui berbagai bacaan atau buku
yang berhubungan dengan dunia bimbingan dan konseling, atau bahkan bila perlu dilakukan
dengan cara melalui penjelajahan situs-situs dalam internet, yang memang banyak
menyediakan berbagai informasi terkini, termasuk yang berhubungan dengan
bimbingan dan konseling. Sedangkan secara langsung, bisa dilakukan dengan cara
melibatkan diri dalam berbagai aktivitas forum keilmuan, seperti : seminar,
penataran dan pelatihan, atau mengikuti kegiatan MGP seperti sekarang ini.
Bahkan, akan lebih baik jika timbul kemauan untuk berusaha menuntut ilmu
melalui jenjang pendidikan formal.Kita maklumi bahwa saat ini latar belakang
pendidikan yang dimiliki oleh konselor masih beragam, baik dilihat dari program
studi/jurusan maupun jenjangnya. Bagi konselor yang berlatar belakang
pendidikan program studi bimbingan, barangkali tidak ada salahnya untuk berusaha
menempuh pendidikan lanjutan pada jenjang yang lebih tinggi. Sementara, bagi
kawan-kawan konselor yang kebetulan bukan berlatar belakang pendidikan
bimbingan, dalam rangka memantapkan diri sebagai konselor, tidak ada salahnya
pula untuk mencoba terjun menekuni dunia akademis dalam bimbingan dan
konseling. Sehingga pada gilirannya, dalam melaksanakan berbagai tugas
bimbingan, konselor benar-benar telah ditopang oleh fundasi keilmuan yang
mantap dan memadai.Sedangkan untuk meningkatkan keterampilan berbagai teknik
bimbingan, salah satu cara yang dipandang cukup efektif adalah dengan berusaha
secara terus menerus dan seringkali mempraktekkan berbagai teknik yang ada.
Misalkan, untuk menguasai teknik-teknik konseling, tentunya konselor harus
mempraktekkan sendiri secara langsung, dan setiap setelah selesai
mempraktekkan, diikuti dengan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan.
Kemudian, membandingkannya dengan keharusan-keharusan berdasarkan teori yang
ada, sehingga akan bisa diketahui kelemahan dan keunggulan dari praktek yang
telah dilakukan. Memasuki tahap praktek konseling berikutnya tentunya sudah
disertai usaha perbaikan, dengan bercermin dari kekurangan- kekurangan pada
praktek konseling sebelumnya. Hal ini secara terus menerus dilakukan dari satu praktek
konseling ke praktek konseling berikutnya, dan sebaiknya disertai pula dengan
pencatatan terhadap apa-apa yang telah dilakukan yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan refleksi sekaligus sebagai bukti fisik dari usaha ilmiah.
Berbekal kesabaran dan ketekunan, usaha ini niscaya pada akhirnya akan dapat
mengantarkan sampai pada taraf yang dikehendaki. Walaupun demikian perlu
dicatat, bahwa keleluasaan dalam menjalankan tugas ini tidak diartikan segala
sesuatunya menjadi serba boleh, hal-hal yang menyangkut prinsip dan
etika profesi bimbingan tetap harus dijaga dan dipelihara, sejalan dengan
tuntutan profesionalisme.2. Akuntabilitas Kerja KonselorPada masa
sebelum diberlakukan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS),
akuntabilitas kerja konselor memang tidak jelas. Sekalipun ada, barangkali
hanya sebatas di hadapan kepala sekolah ataupun pengawas sebagai petugas yang
mewakili pihak pemerintah. Namun pada kenyataannya, seringkali kepala sekolah
atau pengawas mengambil sikap permisif atas hasil kerja yang ditunjukkan
konselor, padahal hasil kerja yang ditunjukkan sama sekali tidak bermutu.
Akuntabilitas semacam ini tentunya tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan
kinerja dan produktivitas konselor.Memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS), dengan sendirinya akuntabilitas konselor semakin
luas, tidak hanya dihadapan kepala sekolah ataupun pengawas, namun mencakup
seluruh pemegang saham (stake holder) dalam bidang pendidikan, terutama
masyarakat dan orang tua siswa.
Bagaimanapun
masyarakat, khususnya orang tua siswa telah rela berkorban mengeluarkan
sejumlah dana untuk kepentingan pendidikan anaknya. Jadi wajar sekali, kalau
saja mereka menuntut pertanggungjawaban kepada sekolah dan kepada konselor
khususnya atas hasil-hasil kerja yang telah dilakukan, demi keberhasilan dan
kemajuan peserta didik. Artinya, jumlah dana yang dikeluarkan oleh
orangtua/masyarakat seyogyanya dapat sebanding dengan hasil yang dicapai, dalam
bentuk kemajuan dan keberhasilan pendidikan anaknya di sekolah.
Dengan
adanya akuntabilitas ini, jelas konselor dituntut untuk lebih meningkatkan mutu
kinerja dan tingkat produktivitas dalam memberikan layanan bantuan terhadap
para siswa. Jika hal ini tidak terpenuhi maka konselor harus bersiap-siap untuk
menerima berbagai complain dari masyarakat yang mungkin tidak
mengenakkan. Apalagi dengan kehadiran Komite Sekolah yang dianggap sebagai
lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat, maka masyarakat akan jauh lebih
terbuka dan leluasa untuk menyampaikan berbagai ketidakpuasan atas hasil-hasil
kerja yang telah dicapai oleh konselor. Tentu saja, kita tidak menghendaki
hal-hal seperti itu. Tak ada cara lain untuk mengantisipasinya, kecuali dengan
menunjukkan bukti-bukti nyata atas segala hasil kerja kita. Manakala kita telah
berhasil membuktikan hasil-hasil kerja yang menggembirakan dan memberi kepuasan
kepada masyarakat, bersamaan itu pula akan tumbuh kepercayaan terhadap sekolah,
khususnya kepada bimbingan dan konseling. Dan pada gilirannya, tidak akan ada
keraguan lagi dari masyarakat untuk memberikan dukungan penuh terhadap sekolah,
khususnya kepada bimbingan dan konseling untuk terus melaksanakan kiprahnya.
Dalam hal ini, berapa besar dana yang harus dikeluarkan tidak lagi menjadi
persoalan besar, yang penting prestasi anak benar-benar dapat terwujudkan
dengan baik, baik dalam akademik maupun non-akademik
3. Konselor Sebagai Agen Informasi
Penerapan Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya kewenangan
sekolah dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat
berusaha melibatkan diri dalam berbagai proses pengambilan keputusan.
Karena,
bagaimanapun konselor bisa dianggap sebagai “orang yang paling banyak tahu”
tentang keadaan siswanya secara personal. Dengan kata lain, konselor dianggap
sebagai orang yang memiliki informasi atau data tentang siswa yang lebih
lengkap dan memadai. Informasi atau data tentang siswa ini ini sangat berguna
dan dapat dijadikan dasar untuk berbagai pengambilan keputusan sekolah yang
berkenaan dengan siswa. Oleh sebab itu, informasi harus diadministrasikan
sedemikian rupa dan siap saji (ready for use), kapan saja diperlukan.
Bahkan bila perlu, pengadminstrasian informasi ini dilakukan secara computerize,
karena saat ini telah dikembangkan berbagai software, yang berhubungan
dengan data siswa, seperti Program DataSis dan Program Alat Ungkap
Masalah (AUM) yang dikembangkan Prof. Dr. Prayitno. Atau secara kreatif,
konselor dapat menciptakan berbagai software tentang bimbingan dan
konseling sesuai dengan kebutuhan kerja, yang sekiranya dapat membantu
mempermudah pengadministrasian dan penyajian data. Dengan sendirinya, dalam hal
ini konselor dituntut untuk memahami dan menguasai teknologi komputer.
Hal yang
perlu dicermati, bahwa dalam mengkomunikasikan informasi tentang siswa kepada
pihak-pihak terkait, seperti kepala sekolah, dewan sekolah atau siapa pun,
konselor harus dapat memilah dan memilih jenis informasi apa saja yang boleh
dan tidak tidak boleh untuk disampaikan. Tentu saja, informasi-informasi yang
berkenaan dengan “ prinsip kerahasiaan klien “ harus tetap dijaga sebaik
mungkin.
Dalam
mengkomunikasikan informasi-informasi tentang siswa, yang berkaitan dengan
proses pengambilan keputusan, khususnya dalam forum Komite Sekolah, konselor
hendaknya dapat menyampaikan pandangan-pandangannya secara tegas, yang berpihak
pada kepentingan siswa itu sendiri. Walau pun mungkin akan didapatkan berbagai
benturan sosial di dalamnya, karena pemahaman dan persepsi anggota Komite
Sekolah tentang bimbingan dan konseling akan sangat beragam bahkan mungkin
sangat kurang.
Satu hal
lagi bahwa dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS), upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan bimbingan ini
konselor hendaknya memperhatikan pengembangan kerja sama, koordinasi dan
sinergis kerja dengan berbagai komponen pendidikan lainnya. Karena dalam
penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS),
keberhasilan pendidikan di sekolah tidak lagi didasarkan pada individual yang
cerdas, akan tetapi sangat mengutamakan pada team work yang cerdas dan
kompak. Untuk itulah, konselor sedapat mungkin harus menjadi bagian utama dari team
work tersebut.
PENGETAHUAN FISIKA DAN MATEMATIKA
FISIKAWAN
ISLAM
MENDAHULUI
ZAMAN
Abdul
Fatah, S.Pd. (Guru Fisika)
Kaum
muslim meyakini bahwa semua pengetahuan berasal dari Allah, dan Al Qur’an
adalah kalamullah. Maka sebagai sumber pengetahuan, Al Qur’an pastilah benar.
Apakah juga pengetahuan tentang zat, energi, ruang-waktu dan interaksi
benda-benda di alam ini, yang sering disebut dengan “Fisika”?
Sebagian
muslim dengan mantap mengatakan ya. Maka munculah istilah “Fisika Islam”. Ini
adalah sejumlah teori atau lebih tepatnya “hepotesa” dari suatu hukum fisika
yang diklaim mereka temukan di dalam Al Qur’an. Sekedar ilustrasi, ada tiga
contoh di sini: (1). Teori bahwa bumilah yang pusat tata surya (geosentris),
bahkan alam semesta, karena di Al Qur’an tidak perna ada ayat yang menyatakan
bumi beredar, tetapi matahari, bulan dan bintanglah yang beredar (QS 13:2,
14:33). Teori ini bahkan didukung seorang syeikh terkemuka dari Saudi Arabia,
yang memfatwakan bahwa percaya kepada teori heliosentris bisa menjerumuskan
pada kemusyrikan. (2) Teori bahwa besi magnet dapat digunakan sebagai
pembangkit energi yang tak ada habisnya, dengan dalil QS 57:25 yang menyatakan
bahwa Allah menciptakan besi yang di dalamnya terdapat kekuatan yang hebat,
yang ia tafsirkan sebagai energi. (3) Teori tujuh lapis atmosfir, karena dikatakan
hujan turun dari langit QS 35:27 sedang Allah menciptakan tujuh langit QS 41:12
sehingga hujan itu terjadi pada lapis langit pertama.
Melihat
teori dan klaim tersebut, sepertinya mereka mengulang apa yang perna dilakukan
kaum mutakalimin (pecinta filsafat) di masa lalu, yang mencari-cari suatu
kesimpulan hanya berdasarkan asumsi, sekalipun asumsi itu berasal dari suatu
ayat Al Qur’an yang ditafsirkan secara subjektif. Tentu saja, cara berfikir
mutakalimin seperti ini tidak pernah menghasilkan terobosan ilmiah yang hakiki,
apalagi dapat dipakai untuk keperluan praktis.
Para
fisikawan muslim di masa keemasan Islam adalah orang-orang yang dididik dari
awal dengan aqidah Islam. Rata-rata mereka hafal Al Qur’an sebelum berusia
baligh. Dan mereka sangat memahami bahwa alam memiliki hukum-hukumnya yang
objektif, yang dapat terungkat sendiri pada mereka yang sabar melakukan
pengamatan dan penelitian dengan cermat.
Ibn
al Haytsam (al-Hazen) adalah pioner optika modern ketika menerbitkan bukunya
pada tahun 1021. Dia menemukan bahwa proses melihat adalah jatuhnya cahaya ke
mata, bukan karena sorot mata sebagaimana diyakini orang sejak zaman
Aristoteles. Dalam kitabnya al-Haytsam menunjukkan berbagai cara membuat
teropong dan juga kamera sederhana (camare obscura).
Menarik
untuk mengetahui bahwa al-Haytsam melakukan eksperimen optiknya ini pada saat
ia mengalami tahanan rumah, setelah gagal memenuhi tugas Amir Mesir untuk
mewujudkan proyek bendungan sungai Nil. Dia baru dilepas setelah
penemuan-penemuan optiknya dinilai impas untuk investasi yang telah dikeluarkan
sang Amir.
Ibn
al-Haytsam juga memulai suatu tradisi metode ilmiah untuk menguji sebuah
hepotesis, 600 tahun mendahului Rene Descartes yang dianggap Bapak Metode
Ilmiah Eropa di zaman Rennaisance. Metode ilmiah ibn al-Haytsam dimulai dari
pengamatan empiris, perumusan masalah, formulasi hipotesis, uji hipotesis
dengan eksperimen, analisis hasil eksperimen, interprestasi data dan formulasi
kesimpulan, dan diakhiri dengan publikasi. Publikasi ini kemudian dinilai oleh
peer-review yang memungkinkan setiap orang melacak dan bila perlu mengulangi
apa yang dikerjakan seorang peneliti. Proses peer-review telah menjadi tradisi
dalam dunia medis sejak Ishaq bin Ali al Rahwi (854-931).
Ibnu
Sina alias Avicenna (980-1037) setuju bahwa kecepatan cahaya pasti terbatas.
Abu Rayhan al-Biruni (973-1048) juga menemukan bahwa cahaya jauh lebih cepat
dari suara. Qutubuddin al-Syirazi (1236-1311) dan Kamaluddin
al-Farisi(1260-1320) memberi penjelasan pertama yang benar pada fenomena
pelangi.
Di
dunia mekanika Ja’far Muhammad ibn Musa ibn Syakir (800-873) dari Banu Musa
berhipotesis bahwa benda-benda langit dan “lapisan langit” adalah subjek yang
mengalami hukum-hukum fisika yang sama dengan bumi.
Al-Biruni
dan belakangan al-Khazini mengembangkan metode eksperimental dalam statika dan
dinamika, kemudian juga hidrostatika dan hidrodinamika, yang sangat penting
dalam pembuatan jembatan, bendungan ataupun kapal.
Pada
tahun 1121, al-Khazani dalam kitab tentang “keseimbangan kebijaksanaan”
mengusukan bahwa gravitasi dan energi potensialnya berubah tergantung jaraknya
dari pusat bumi. Dia juga secara tegas membedakan antara gaya, massa dan berat.
Penemuan ini berguna untuk membuat kincir bertenaga air.
Ibnu
Bajah (Avempace) yang wafat 1138 berargumentasi bahwa selalu ada reaksi pada
setiap aksi. Teorinya ini sangat berpengaruh pada fisikawan setelahnya,
termasuk Galileo dan Newton, dan sangat berguna untuk menghitung kekuatan
manjaniq, yakni ketapel raksasa yang berfungsi seperti meriam.
Hibatullah
Abu’l-Barakat al-Baghdadi (1080-1165) membantah Aristoteles yang mengatakan
bahwa gaya yang konstan akan menghasilkan gerak yang seragam, ketika dalam
kitabnya al-Mu’tabar dia menulis bahwa gaya konstan akan menghasilkan
percepatan (akselerasi). Menurutnya akselerasi adalah rerata dari perubahan
kecepatan.
Ibnu
Rusyd alias Averroes (1126-1198) adalah mujtahid dalam fiqih yang juga
fisikawan, terbukti dalam salah satu kitabnya dia mendefinisikan gaya sebagai
tingkat kerja yang harus dilakukan untuk mengubah kondisi kinetik daru sebuah
benda yang lembam. Apa yang ditulis ibnu Rusyd ini 500 tahun lebih awal dari
mekanika klasik Newton.
Semua
ilustrasi ini menunjukkan bahwa Fisika Islam kalaupun ada-adalah fiska yang
telah melalui rangkaian metode ilmiah, yang kemudian terbukti dapat digunakan
untuk keperluan praktis. Fisika sebagai ilmu pengetahuan empiris dapat diraih
oleh penelti manapun yang sabar, tanpa memandang apa keyakinan aqidahnya.
Kebenaran fakta fisika tidak perlu didukung dan tidak akan mengusik ayat Al
Qur’an manapun, karena keduanya memiliki ruang lingkup yang berbeda.
Memaksa-maksa agar suatu fakta fisika cocok dengan sebuah ayat atau sebaliknya,
justru menunjukkan kelemahan pemahaman kita sendiri, baik terhadap fakta
fisika, maupun terhadap isi Al Qur’an sendiri. Dan ini semua tidak pernah
dialami oleh para fisikawan di masa keemasan Islam.
Matematikawan Mulia, Merindukan Surga
Oleh : Rohmah, S.Pd (Guru Matematika SMA Plus Al Fatimah).*)
Jurusan matematika oleh sebagian
kalangan masih dianggap sebagai jurusan “elit”, terbukti ketika seleksi penerimaan mahasiswa baru baik kampus negeri
maupun swasta peminatnya pasti jauh melebihi kuota yang dibutuhkan. Ada yang
mempertimbangkan jam kuliah relatif
singkat tanpa praktikum-praktikum di laborat seperti ilmu-ilmu sains sehingga
berpeluang kuliah sambil kerja semisal kasih privat ataupun lainnya.
Namun berbeda jika nuansa yang dilirik adalah
di PT berbasis tehnik, jurusan
matematika sering dijuluki “ningrat”
– pening tapi melarat. Sekolahnya
susah, tapi setelah lulus cari kerja juga susah. Paling nanti jadi guru … Ini adalah ucapan seorang tua pada anaknya
yang kelihatan cerdas. Si orang tua ingin anaknya jadi insinyur atau dokter,
atau akuntan, atau pengacara, profesi-profesinya yang secara materi jelas lebih
menjanjikan daripada profesi ilmuwan seperti matematikawan. Sekolah untuk
profesi-profesi itu yang susah hanya saringan masuknya karena begitu banyak
orang yang berminat, dan begitu sedikit kursi yang tersedia. Selebihnya, proses belajar mengajarnya tidak
sesulit jurusan matematika.
Tetapi matematika adalah indikator peradaban. Setiap kali anthropolog, arkeolog atau sejarawan
menemukan bahwa suatu etnik atau suatu peradaban pastilah ada itung-itungan
njelimet disitu. Jika di suatu masa telah etnik tersebut telah menyibukkan diri
dengan matematika, maka mereka mengidentifikasi bahwa etnik atau peradaban itu
telah maju. Saat inipun suatu sekolah yang anak didiknya menjuarai olimpiade
Matematika juga bisa dikatakan bahwa sekolah itu maju.
Banyak bangsa kuno yang telah menyibukkan diri dengan
matematika. Bangsa Mesir kuno pun dalam membangun piramidnya tidak mungkin
bekerja tanpa matematika, dalam hal ini geometri. Bangsa Maya di Amerika
sebelum kedatangan orang Eropa juga telah menyibukkan diri dengan matematika,
yang tercermin pada sistem kalender mereka yang amat rumit dan teliti. Hal
serupa juga ada pada bangsa Yunani, India dan Cina. Ornamen-ornamen di istana
atau tempat ibadah mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki cita rasa
matematika.
Namun dari berbagai kajian etnik-etnik secara matematis itu, yang paling menarik adalah dari peradaban
Islam. Matematika Islam adalah satu-satunya fenomena matematika yang
menggabungkan unsur transendental (mendekatkan diri kepada Tuhan) dengan unsur
praktis. Ornamen simetri geometri seperti pada peradaban Yunani, India dan Cina
juga ditemukan dalam peradaban Islam, namun dengan tingkat kerumitan yang lebih
tinggi. Ornamen ini juga tidak cuma dibuat dengan teknik replikasi/pengulangan,
tetapi bahkan dirumuskan secara hitungan
matematika, yakni melalui deret binomial.
Dengan matematika ini bisa
dihitung secara akurat panjang atau luasan benda itu secara fisis, misalnya
jumlah batu atau volume cat berwarna tertentu yang dibutuhkan.
Muhammad al-Khawarizmi (abad 9 M), Syaikhul Islam penemu angka nol pernah menjabat Mas’ul Baitul Hikmah di
Baghdad,sekaligus penemu aljabar ternyata juga inovator beberapa deret
matematika yang bisa diwujudkan dalam pola-pola simetri komplek / rumit yang
sangat indah. Pekerjaan al-Khawarizmi
ini kemudian dilanjutkan antara lain oleh Muhammad al-Karaji (abad 10 M), yang
melengkapi matematika dengan aljabar kalkulus. Dia bisa membuktikan kebenaran
hasil suatu deret dengan nilai sangat besar cukup secara induksi matematika,
tanpa perlu lagi menggunakan geometri.
Dua ratus tahun setelah al-Karajji, Umar Khayyam (abad 12 M)
yang lebih terkenal sebagai penyair, melakukan pekerjaan penting dalam
matematika dan astronomi, yakni memecahkan persamaan pangkat dua, tiga, hingga
pangkat tinggi (disebut juga “persamaan pangkat n”). Dengan demikian Umar Khayyam telah mendirikan
disiplin baru: “algebraic geometry”. Apa
yang dilakukannya ini 500 tahun lebih awal dari matematikawan Italia Ferro dan
Tartaglia.
Algebraic-geometri ini membuka jalan Nasiruddin at-Tusi
untuk mengembangkan trigonometri sferis, yakni menghitung sudut dan jarak di
atas permukaan bola. Umat Islam saat itu sudah yakin bahwa bentuk bumi adalah
mirip bola, sehingga mereka melakukan astronomi praktis untuk keperluan
navigasi di laut maupun untuk pemetaan di darat menggunakan
hitungan trigonometri sferis. Pada bidang datar, jumlah sudut segitiga adalah
180 derajat. Tetapi di permukaan bola, jumlah sudut segitiga bisa lebih dari
180 derajat. Inilah temuan penting matematikawan Muslim, ketika dunia Barat
saat itu bahkan masih meragukan bahwa bumi adalah bola.
Jika disingkronkan dengan kondisi saat ini seorang guru
matematika sudah boleh dibilang seorang matematikawan bagi murid-muridnya. Derajad Muslim bagi seorang
guru matematika harusnya mampu menjiwai
setiap materi matematika yang disampaikan kepada para murid
sehingga akan memberikan “ruh” dalam
kehidupan generasi muda Islam dalam
mencari solusi terhadap permasalahan kehidupan. Materi bilangan bulat dan pecah akan sangat
bermanfaat dalam aplikasi pembagian waris sesuai dengan ilmu faraidh,
materi integral juga akan membawa
pengaruh tingginya kekuatan Aqidah Islamiyah bagi anak didik karena dengan
ketelatenan,ketelitian dalam menghitung hasil pengintegralan akan tertanam rasa
optimisme dalam hidup hingga tidak mudah bunuh diri, apapun masalah yang ia
hadapi.
Keharusan tepat dalam menghitung aljabar,geometri,
polinomial, akan mampu melahirkan generasi yang taat syari’ah karena jika
sedikit saja berbelok maka akan terjadi kesalahan yang fatal. Harusnya dapat
skor 10 yang berarti surga jika lengah maka akan berbalik menjadi skor 0 yang
bermakna sengsara/neraka.
Ketelatenan guru dalam membimbing para murid, cara menegur,
cara memotivasi akan dijadikan cermin murid dalam ber’amar ma’ruf nahi munkar
di masyarakat dengan senantiasa berpedoman pada rumus-rumus yang ada,yang
berarti senantiasa menjadikan Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai rujukan utama.
Semangat guru dalam mengenalkan materi baru,akan melahirkan kerinduan murid
untuk berjumpa dengan matematika.kephobian terhadapnya akan hilang manakala
guru hadir dengan senyum merekah tanpa menunjukkan sedikitpun ekspresi
kengerian, atau ke’galau’an akan kemampuan murid-muridnya akan bisa mendorong
kecintaan dan kerinduan anak didik untuk diterapkannya Islam dalam
kehidupan,karena sesungguhnya Islam Rahmatan Lil’aalamien.
Kebiasaan guru mengajak siswa menelaah rumus dan
mengaplikasikannya pada soal agar mendapatkan nilai maksimal,juga mendorong guru matematika untuk senantiasa mengajak mereka untuk
menelaah Al-Qur’an sekaligus mengamalkannya dalam kehidupan agar gelar insan
kamil bisa teraih. Jika seluruh guru matematika senantiasa belajar untuk
menghidupkan matematika dengan ruh Islam, maka impian menghadirkan generasi
muslim rabbani yang cinta matematika akan terwujud yaitu menjadi matematikawan
mulia yang dirindukan surgaNya.
Langganan:
Postingan (Atom)