Senin, 11 Juni 2012

PENGETAHUAN FISIKA DAN MATEMATIKA

FISIKAWAN ISLAM
MENDAHULUI ZAMAN
Abdul Fatah, S.Pd. (Guru Fisika)

Kaum muslim meyakini bahwa semua pengetahuan berasal dari Allah, dan Al Qur’an adalah kalamullah. Maka sebagai sumber pengetahuan, Al Qur’an pastilah benar. Apakah juga pengetahuan tentang zat, energi, ruang-waktu dan interaksi benda-benda di alam ini, yang sering disebut dengan “Fisika”?
Sebagian muslim dengan mantap mengatakan ya. Maka munculah istilah “Fisika Islam”. Ini adalah sejumlah teori atau lebih tepatnya “hepotesa” dari suatu hukum fisika yang diklaim mereka temukan di dalam Al Qur’an. Sekedar ilustrasi, ada tiga contoh di sini: (1). Teori bahwa bumilah yang pusat tata surya (geosentris), bahkan alam semesta, karena di Al Qur’an tidak perna ada ayat yang menyatakan bumi beredar, tetapi matahari, bulan dan bintanglah yang beredar (QS 13:2, 14:33). Teori ini bahkan didukung seorang syeikh terkemuka dari Saudi Arabia, yang memfatwakan bahwa percaya kepada teori heliosentris bisa menjerumuskan pada kemusyrikan. (2) Teori bahwa besi magnet dapat digunakan sebagai pembangkit energi yang tak ada habisnya, dengan dalil QS 57:25 yang menyatakan bahwa Allah menciptakan besi yang di dalamnya terdapat kekuatan yang hebat, yang ia tafsirkan sebagai energi. (3) Teori tujuh lapis atmosfir, karena dikatakan hujan turun dari langit QS 35:27 sedang Allah menciptakan tujuh langit QS 41:12 sehingga hujan itu terjadi pada lapis langit pertama.
Melihat teori dan klaim tersebut, sepertinya mereka mengulang apa yang perna dilakukan kaum mutakalimin (pecinta filsafat) di masa lalu, yang mencari-cari suatu kesimpulan hanya berdasarkan asumsi, sekalipun asumsi itu berasal dari suatu ayat Al Qur’an yang ditafsirkan secara subjektif. Tentu saja, cara berfikir mutakalimin seperti ini tidak pernah menghasilkan terobosan ilmiah yang hakiki, apalagi dapat dipakai untuk keperluan praktis.
Para fisikawan muslim di masa keemasan Islam adalah orang-orang yang dididik dari awal dengan aqidah Islam. Rata-rata mereka hafal Al Qur’an sebelum berusia baligh. Dan mereka sangat memahami bahwa alam memiliki hukum-hukumnya yang objektif, yang dapat terungkat sendiri pada mereka yang sabar melakukan pengamatan dan penelitian dengan cermat.
Ibn al Haytsam (al-Hazen) adalah pioner optika modern ketika menerbitkan bukunya pada tahun 1021. Dia menemukan bahwa proses melihat adalah jatuhnya cahaya ke mata, bukan karena sorot mata sebagaimana diyakini orang sejak zaman Aristoteles. Dalam kitabnya al-Haytsam menunjukkan berbagai cara membuat teropong dan juga kamera sederhana (camare obscura).
Menarik untuk mengetahui bahwa al-Haytsam melakukan eksperimen optiknya ini pada saat ia mengalami tahanan rumah, setelah gagal memenuhi tugas Amir Mesir untuk mewujudkan proyek bendungan sungai Nil. Dia baru dilepas setelah penemuan-penemuan optiknya dinilai impas untuk investasi yang telah dikeluarkan sang Amir.
Ibn al-Haytsam juga memulai suatu tradisi metode ilmiah untuk menguji sebuah hepotesis, 600 tahun mendahului Rene Descartes yang dianggap Bapak Metode Ilmiah Eropa di zaman Rennaisance. Metode ilmiah ibn al-Haytsam dimulai dari pengamatan empiris, perumusan masalah, formulasi hipotesis, uji hipotesis dengan eksperimen, analisis hasil eksperimen, interprestasi data dan formulasi kesimpulan, dan diakhiri dengan publikasi. Publikasi ini kemudian dinilai oleh peer-review yang memungkinkan setiap orang melacak dan bila perlu mengulangi apa yang dikerjakan seorang peneliti. Proses peer-review telah menjadi tradisi dalam dunia medis sejak Ishaq bin Ali al Rahwi (854-931).
Ibnu Sina alias Avicenna (980-1037) setuju bahwa kecepatan cahaya pasti terbatas. Abu Rayhan al-Biruni (973-1048) juga menemukan bahwa cahaya jauh lebih cepat dari suara. Qutubuddin al-Syirazi (1236-1311) dan Kamaluddin al-Farisi(1260-1320) memberi penjelasan pertama yang benar pada fenomena pelangi.
Di dunia mekanika Ja’far Muhammad ibn Musa ibn Syakir (800-873) dari Banu Musa berhipotesis bahwa benda-benda langit dan “lapisan langit” adalah subjek yang mengalami hukum-hukum fisika yang sama dengan bumi.
Al-Biruni dan belakangan al-Khazini mengembangkan metode eksperimental dalam statika dan dinamika, kemudian juga hidrostatika dan hidrodinamika, yang sangat penting dalam pembuatan jembatan, bendungan ataupun kapal.
Pada tahun 1121, al-Khazani dalam kitab tentang “keseimbangan kebijaksanaan” mengusukan bahwa gravitasi dan energi potensialnya berubah tergantung jaraknya dari pusat bumi. Dia juga secara tegas membedakan antara gaya, massa dan berat. Penemuan ini berguna untuk membuat kincir bertenaga air.
Ibnu Bajah (Avempace) yang wafat 1138 berargumentasi bahwa selalu ada reaksi pada setiap aksi. Teorinya ini sangat berpengaruh pada fisikawan setelahnya, termasuk Galileo dan Newton, dan sangat berguna untuk menghitung kekuatan manjaniq, yakni ketapel raksasa yang berfungsi seperti meriam.
Hibatullah Abu’l-Barakat al-Baghdadi (1080-1165) membantah Aristoteles yang mengatakan bahwa gaya yang konstan akan menghasilkan gerak yang seragam, ketika dalam kitabnya al-Mu’tabar dia menulis bahwa gaya konstan akan menghasilkan percepatan (akselerasi). Menurutnya akselerasi adalah rerata dari perubahan kecepatan.
Ibnu Rusyd alias Averroes (1126-1198) adalah mujtahid dalam fiqih yang juga fisikawan, terbukti dalam salah satu kitabnya dia mendefinisikan gaya sebagai tingkat kerja yang harus dilakukan untuk mengubah kondisi kinetik daru sebuah benda yang lembam. Apa yang ditulis ibnu Rusyd ini 500 tahun lebih awal dari mekanika klasik Newton.
Semua ilustrasi ini menunjukkan bahwa Fisika Islam kalaupun ada-adalah fiska yang telah melalui rangkaian metode ilmiah, yang kemudian terbukti dapat digunakan untuk keperluan praktis. Fisika sebagai ilmu pengetahuan empiris dapat diraih oleh penelti manapun yang sabar, tanpa memandang apa keyakinan aqidahnya. Kebenaran fakta fisika tidak perlu didukung dan tidak akan mengusik ayat Al Qur’an manapun, karena keduanya memiliki ruang lingkup yang berbeda. Memaksa-maksa agar suatu fakta fisika cocok dengan sebuah ayat atau sebaliknya, justru menunjukkan kelemahan pemahaman kita sendiri, baik terhadap fakta fisika, maupun terhadap isi Al Qur’an sendiri. Dan ini semua tidak pernah dialami oleh para fisikawan di masa keemasan Islam.



Matematikawan Mulia, Merindukan Surga
Oleh : Rohmah, S.Pd (Guru Matematika SMA Plus Al Fatimah).*)
Jurusan matematika oleh sebagian kalangan masih dianggap sebagai jurusan “elit”, terbukti  ketika seleksi  penerimaan mahasiswa baru baik kampus negeri maupun swasta peminatnya pasti jauh melebihi kuota yang dibutuhkan. Ada yang mempertimbangkan jam  kuliah relatif singkat tanpa praktikum-praktikum di laborat seperti ilmu-ilmu sains sehingga berpeluang kuliah sambil kerja semisal kasih privat ataupun lainnya.
 Namun berbeda jika nuansa yang dilirik adalah di PT berbasis tehnik, jurusan  matematika  sering dijuluki “ningrat” – pening tapi melarat. Sekolahnya susah, tapi setelah lulus cari kerja juga susah. Paling nanti jadi guru …  Ini adalah ucapan seorang tua pada anaknya yang kelihatan cerdas. Si orang tua ingin anaknya jadi insinyur atau dokter, atau akuntan, atau pengacara, profesi-profesinya yang secara materi jelas lebih menjanjikan daripada profesi ilmuwan seperti matematikawan. Sekolah untuk profesi-profesi itu yang susah hanya saringan masuknya karena begitu banyak orang yang berminat, dan begitu sedikit kursi yang tersedia.  Selebihnya, proses belajar mengajarnya tidak sesulit jurusan matematika.
Tetapi matematika adalah indikator peradaban.  Setiap kali anthropolog, arkeolog atau sejarawan menemukan bahwa suatu etnik atau suatu peradaban pastilah ada itung-itungan njelimet disitu. Jika di suatu masa telah etnik tersebut telah menyibukkan diri dengan matematika, maka mereka mengidentifikasi bahwa etnik atau peradaban itu telah maju. Saat inipun suatu sekolah yang anak didiknya menjuarai olimpiade Matematika juga bisa dikatakan bahwa sekolah itu maju.
Banyak bangsa kuno yang telah menyibukkan diri dengan matematika. Bangsa Mesir kuno pun dalam membangun piramidnya tidak mungkin bekerja tanpa matematika, dalam hal ini geometri. Bangsa Maya di Amerika sebelum kedatangan orang Eropa juga telah menyibukkan diri dengan matematika, yang tercermin pada sistem kalender mereka yang amat rumit dan teliti. Hal serupa juga ada pada bangsa Yunani, India dan Cina. Ornamen-ornamen di istana atau tempat ibadah mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki cita rasa matematika.
Namun dari berbagai kajian etnik-etnik secara matematis  itu, yang paling menarik adalah dari peradaban Islam. Matematika Islam adalah satu-satunya fenomena matematika yang menggabungkan unsur transendental (mendekatkan diri kepada Tuhan) dengan unsur praktis. Ornamen simetri geometri seperti pada peradaban Yunani, India dan Cina juga ditemukan dalam peradaban Islam, namun dengan tingkat kerumitan yang lebih tinggi. Ornamen ini juga tidak cuma dibuat dengan teknik replikasi/pengulangan, tetapi bahkan  dirumuskan secara hitungan matematika, yakni melalui deret binomial.  Dengan  matematika ini bisa dihitung secara akurat panjang atau luasan benda itu secara fisis, misalnya jumlah batu atau volume cat berwarna tertentu yang dibutuhkan.
Muhammad al-Khawarizmi (abad 9 M), Syaikhul  Islam penemu angka nol  pernah menjabat Mas’ul Baitul Hikmah di Baghdad,sekaligus penemu aljabar ternyata juga inovator beberapa deret matematika yang bisa diwujudkan dalam pola-pola simetri komplek / rumit yang sangat indah.  Pekerjaan al-Khawarizmi ini kemudian dilanjutkan antara lain oleh Muhammad al-Karaji (abad 10 M), yang melengkapi matematika dengan aljabar kalkulus. Dia bisa membuktikan kebenaran hasil suatu deret dengan nilai sangat besar cukup secara induksi matematika, tanpa perlu lagi menggunakan geometri.

Dua ratus tahun setelah al-Karajji, Umar Khayyam (abad 12 M) yang lebih terkenal sebagai penyair, melakukan pekerjaan penting dalam matematika dan astronomi, yakni memecahkan persamaan pangkat dua, tiga, hingga pangkat tinggi (disebut juga “persamaan pangkat n”).  Dengan demikian Umar Khayyam telah mendirikan disiplin baru: “algebraic geometry”.  Apa yang dilakukannya ini 500 tahun lebih awal dari matematikawan Italia Ferro dan Tartaglia.

Algebraic-geometri ini membuka jalan Nasiruddin at-Tusi untuk mengembangkan trigonometri sferis, yakni menghitung sudut dan jarak di atas permukaan bola. Umat Islam saat itu sudah yakin bahwa bentuk bumi adalah mirip bola, sehingga mereka melakukan astronomi praktis untuk keperluan
navigasi di laut maupun untuk pemetaan di darat menggunakan hitungan trigonometri sferis. Pada bidang datar, jumlah sudut segitiga adalah 180 derajat. Tetapi di permukaan bola, jumlah sudut segitiga bisa lebih dari 180 derajat. Inilah temuan penting matematikawan Muslim, ketika dunia Barat saat itu bahkan masih meragukan bahwa bumi adalah bola.
Jika disingkronkan dengan kondisi saat ini seorang guru matematika sudah boleh dibilang seorang matematikawan bagi  murid-muridnya. Derajad Muslim bagi seorang guru matematika  harusnya mampu menjiwai setiap  materi  matematika yang disampaikan kepada para murid sehingga akan memberikan “ruh”  dalam kehidupan generasi  muda Islam dalam mencari solusi terhadap permasalahan kehidupan. Materi  bilangan bulat dan pecah akan sangat bermanfaat dalam aplikasi pembagian waris sesuai dengan ilmu faraidh, materi  integral juga akan membawa pengaruh tingginya kekuatan Aqidah Islamiyah bagi anak didik karena dengan ketelatenan,ketelitian dalam menghitung hasil pengintegralan akan tertanam rasa optimisme dalam hidup hingga tidak mudah bunuh diri, apapun masalah yang ia hadapi.
 Keharusan tepat  dalam menghitung aljabar,geometri, polinomial, akan mampu melahirkan generasi yang taat syari’ah karena jika sedikit saja berbelok maka akan terjadi kesalahan yang fatal. Harusnya dapat skor 10 yang berarti surga jika lengah maka akan berbalik menjadi skor 0 yang bermakna sengsara/neraka.
Ketelatenan guru dalam membimbing para murid, cara menegur, cara memotivasi akan dijadikan cermin murid dalam ber’amar ma’ruf nahi munkar di masyarakat dengan senantiasa berpedoman pada rumus-rumus yang ada,yang berarti senantiasa menjadikan Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai rujukan utama. Semangat guru dalam mengenalkan materi baru,akan melahirkan kerinduan murid untuk berjumpa dengan matematika.kephobian terhadapnya akan hilang manakala guru hadir dengan senyum merekah tanpa menunjukkan sedikitpun ekspresi kengerian, atau ke’galau’an akan kemampuan murid-muridnya akan bisa mendorong kecintaan dan kerinduan anak didik untuk diterapkannya Islam dalam kehidupan,karena sesungguhnya Islam Rahmatan Lil’aalamien.  
Kebiasaan guru mengajak siswa menelaah rumus dan mengaplikasikannya pada soal agar mendapatkan nilai maksimal,juga  mendorong guru matematika  untuk senantiasa mengajak mereka untuk menelaah Al-Qur’an sekaligus mengamalkannya dalam kehidupan agar gelar insan kamil bisa teraih. Jika seluruh guru matematika senantiasa belajar untuk menghidupkan matematika dengan ruh Islam, maka impian menghadirkan generasi muslim rabbani yang cinta matematika akan terwujud yaitu menjadi matematikawan mulia yang dirindukan surgaNya.

Tidak ada komentar: