Senin, 01 Oktober 2012

JADI MATEMATIKAWAN MULIA


Oleh: Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar

Menjadi matematikawan?  Itu ilmu “ningrat” – pening tapi melarat. Sekolahnya susah, tapi setelah lulus cari kerja juga susah. Paling nanti jadi guru …  Ini adalah ucapan seorang tua pada anaknya yang kelihatan cerdas. Si orang tua ingin anaknya jadi insinyur atau dokter, atau akuntan, atau pengacara, profesi-profesinya yang secara materi jelas lebih menjanjikan daripada profesi ilmuwan seperti matematikawan. Sekolah untuk profesi-profesi itu yang susah hanya saringan masuknya karena begitu banyak orang yang berminat, dan begitu sedikit kursi yang tersedia.  Selebihnya, proses belajar mengajarnya tidak sesulit jurusan matematika.
Tetapi matematika adalah indikator peradaban.  Setiap kali anthropolog, arkeolog atau sejarawan menemukan bahwa suatu etnik atau suatu peradaban 
di suatu masa telah menyibukkan diri dengan matematika, maka mereka mengidentifikasi bahwa etnik atau peradaban itu telah maju. Dalam dunia ilmiah ini disebut “etnomathematics”.
Banyak bangsa kuno yang telah menyibukkan diri dengan matematika. Bangsa Mesir kuno pun dalam membangun piramidnya tidak mungkin bekerja tanpa matematika, dalam hal ini geometri. Bangsa Maya di Amerika sebelum kedatangan orang Eropa juga telah menyibukkan diri dengan matematika, yang tercermin pada sistem kalender mereka yang amat rumit dan teliti. Hal serupa juga ada pada bangsa Yunani, India dan Cina. Ornamen-ornamen di istana atau tempat ibadah mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki cita rasa matematika.
Namun dari berbagai kajian etnomatematika itu, yang paling menarik adalah dari peradaban Islam. Matematika Islam adalah satu-satunya fenomena matematika yang menggabungkan unsur transendental (mendekatkan diri kepada Tuhan) dengan unsur praktis. Ornamen simetri geometri seperti pada peradaban Yunani, India dan Cina juga ditemukan dalam peradaban Islam, namun dengan tingkat kerumitan yang lebih tinggi. Ornamen ini juga tidak cuma dibuat dengan teknik replikasi/pengulangan, tetapi bahkan  dirumuskan secara hitungan matematika, yakni melalui deret binomial.  Dengan 
matematika ini bisa dihitung secara akurat panjang atau luasan benda itu secara fisis, misalnya jumlah batu atau volume cat berwarna tertentu yang dibutuhkan.
Muhammad al-Khawarizmi (abad 9 M) yang pernah menjabat Mas’ul Baitul Hikmah di Baghdad dan penemu aljabar ternyata juga inovator beberapa deret matematika yang bisa diwujudkan dalam pola-pola simetri komplek / rumit yang sangat indah.  Pekerjaan al-Khawarizmi ini kemudian dilanjutkan antara lain oleh Muhammad al-Karaji (abad 10 M), yang melengkapi matematika dengan aljabar kalkulus. Dia bisa membuktikan kebenaran hasil suatu deret dengan nilai sangat besar cukup secara induksi matematika, tanpa perlu lagi menggunakan geometri.
Dua ratus tahun setelah al-Karajji, Umar Khayyam (abad 12 M) yang lebih terkenal sebagai penyair, melakukan pekerjaan penting dalam matematika dan astronomi, yakni memecahkan persamaan pangkat dua, tiga, hingga pangkat tinggi (disebut juga “persamaan pangkat n”).  Dengan demikian Umar Khayyam telah mendirikan disiplin baru: “algebraic geometry”.  Apa yang dilakukannya ini 500 tahun lebih awal dari matematikawan Italia Ferro dan Tartaglia.
Algebraic-geometri ini membuka jalan Nasiruddin at-Tusi untuk mengembangkan trigonometri sferis, yakni menghitung sudut dan jarak di atas permukaan bola. Umat Islam saat itu sudah yakin bahwa bentuk bumi adalah mirip bola, sehingga mereka melakukan astronomi praktis untuk keperluan 
navigasi di laut maupun untuk pemetaan di darat menggunakan hitungan trigonometri sferis. Pada bidang datar, jumlah sudut segitiga adalah 180 derajat. Tetapi di permukaan bola, jumlah sudut segitiga bisa lebih dari 180 derajat. Inilah temuan penting matematikawan Muslim, ketika dunia Barat saat itu bahkan masih meragukan bahwa bumi adalah bola.[]

Tidak ada komentar: