Pengertian Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Menurut Edmond (dalam Suryosubroto, 2004:208) Manajemen Peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah.
Konsep ini diperkenalkan oleh teori effektif school
yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan. Beberapa
indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain
sebagai berikut : (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah
memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat,
(iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru,
dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan
staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan
evaluasi yang terus-menerus terhadap berbagai aspek akademik dan
administrative, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/ perbaikan mutu,
dan (vii) adanya komunikasi dan
dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk
alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan (Nurkholis,
2003:6). MBS pada prinsipnya bertumpu pada sekolah dan masyarakat serta jauh
dari birokrasi yang sentralistik. MBS berpotensi untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu pada tingkat
sekolah. MBS dimaksudkan meningkatkan otonomi sekolah, menentukan sendiri apa
yang perlu diajarkan, dan mengelola sumber daya yang ada untuk berinovasi. MBS
juga memiliki potensi yang besar untuk menciptakan kepala sekolah, guru, dan
administrator yang profesional. Dengan demikian, sekolah akan bersifat
responsif terhadap kebutuhan masing-masing siswa dan masyarakat sekolah.
Prestasi belajar siswa dapat dioptimalkan melalui partisipasi langsung orang
tua dan masyarakat.
Aldwell dan
Spink (1988) dalam Teguh Winarno memandang MBS sebagai a self managing school
yakni suatu sekolah yang telah mengadopsi desentralisasi yang berarti dan
konsisten sehingga sekolah tersebut mempunyai wewenang untuk mengambil
keputusan-keputusan yang berhubungan dengan alokasi sumber-sumber yang meliputi
pengetahuan, teknologi, wewenang, material, orang, waktu dan keuangan (dikutip
oleh Campbell–Evans dalam Dimmock (ed),1993: 93 dalam Teguh Winarno). Hal ini
berarti bahwa sekolah yang menggunakan MBS memperoleh hak otonomi untuk
mengelola sumber-sumber daya pedidikan yang dimilikinya.
Tujuan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Tujuan penerapan MBS untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kualitas kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya, dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum.
Tujuan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Tujuan penerapan MBS untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kualitas kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya, dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah bertujuan
untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan atau
otonomi kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan
keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya, Manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah bertujuan untuk :
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian
dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya yang
tersedia.
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.(Depdiknas, 2001: 4)
Konsep dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.(Depdiknas, 2001: 4)
Konsep dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)
dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar
kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan
secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai
tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional.
Oleh karena itu, esensi MPMBS adalah otonomi sekolah
dan pengambilan keputusan partisipasif untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi adalah kewenangan/kemandirian yaitu
kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak
tergantung. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan
mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan
nasional yang berlaku.
Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara
untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan
demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orangtua siswa,
masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan
keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar
dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun
rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan
evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu) dan partisipasi kelompok-kelompok yang
berkepentingan dengan sekolah merupakan ciri khas Manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah.
Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)
Salah satu
issue penting tentang pendidikan saat ini berkenaan berkenaan dengan penerapan Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Dalam hal ini, tentunya konselor
seyogyanya dapat memahami dan menangkap implikasinya bagi penyelenggaraan
bimbingan dan konseling. Oleh karena itu, tulisan ini, akan dipaparkan secara
ringkas dan sederhana tentang Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS) dan Implikasinya terhadap Layanan Bimbingan dan Konseling Bahwa
berangkat dari realita rendahnya kualitas pendidikan yang hampir terjadi di
setiap jenjang dan satuan pendidikan, pemerintah melalui Departemen Pendidikan
Nasional telah menggulirkan kebijakan pola manajemen pendidikan baru yang di
dalamnya memuat kewenangan yang luas kepada sekolah untuk mengatur dan
mengendalikan sekolah, dengan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang
melibatkan langsung semua warga sekolah. Pola manajemen baru ini dikenal dengan
istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau disingkat
MPMBS.Sesungguhnya, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ini
memiliki ruang lingkup bahasan yang amat luas, baik dilihat dari segi konsep
maupun implementasinya, sehingga tidak mungkin untuk dapat dipaparkan secara
menyeluruh melalui tulisan ini. Oleh karena itu, dalam tulisan ini hanya akan
dibicarakan hal-hal yang berkenaan dengan penyelenggaraan layanan bimbingan
konseling di sekolah, diantaranya akan dikemukakan tentang : (1) Pemberdayaan
dan Profesionalisme Konselor; (2) Akuntabilitas Kinerja Konselor; dan (3)
Konselor Sebagai Agen Informasi 1. Pemberdayaan dan Profesionalisme KonselorManajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya perubahan manajemen dari
pendekatan sentralistik-birokratik menuju desentralistik-profesional.
Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam pendekatan sentralistik-birokratik, konselor
dalam melaksanakan tugasnya sudah ditentukan dan dipolakan sedemikian rupa oleh
pusat, melalui berbagai bentuk aturan, ketentuan, petunjuk pelaksanaan,
petunjuk teknis dan sebagainya. Akibatnya, ruang gerak konselor menjadi
terbatasi, sehingga pada akhirnya konselor menjadi kurang terbiasa dengan
budaya kreatif dan inovatif.Aturan dan ketentuan yang kaku dan ketat telah
menggiring dan memposisikan konselor pada iklim kerja yang tidak lagi didasari
oleh sikap profesinal, namun justru lebih banyak sekedar menjalankan kewajiban
rutin semata. Maka, muncullah berbagai sikap yang kurang menguntungkan, seperti
: malas, masa bodoh dan tidak peduli terhadap prestasi kerja.Dengan hadirnya
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang mengedepankan
pendekatan desentralistik-profesional, maka ruang gerak konselor menjadi
leluasa. Proses kreatif dan inovatif justru menjadi lebih utama. Konselor
didorong untuk memiliki keberanian dan membiasakan diri untuk menemukan
cara-cara baru yang lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan berbagai
kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, memasuki alam
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), konselor dituntut bekerja
secara profesional.Dari sini, timbul pertanyaan hal-hal apa yang perlu
disiapkan untuk menuju ke arah profesionalisme itu ? Dalam hal ini, tentu saja
konselor seyogyanya dapat berusaha mengembangkan secara terus menerus kapasitas
pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, yang justru merupakan prasyarat
untuk menjadi seorang profesional.Konselor seyogyanya tidak merasa cepat berpuas
diri dengan kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang saat ini dimilikinya,
namun justru harus senantiasa berusaha untuk memutakhirkan pengetahuan dan
keterampilannya. Bagaimanapun, dalam era informasi sekarang ini perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bimbingan konseling dari waktu ke waktu
berkembang secara sangat pesat. Sehingga seorang konselor dituntut untuk terus
dapat mengantisipasi arah perkembangan yang terjadi, agar tidak menjadi
terpuruk secara profesional.Upaya peningkatan kapasitas pengetahuan dapat
dilakukan dengan berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara tidak langsung, bisa saja dilakukan melalui berbagai bacaan atau buku
yang berhubungan dengan dunia bimbingan dan konseling, atau bahkan bila perlu dilakukan
dengan cara melalui penjelajahan situs-situs dalam internet, yang memang banyak
menyediakan berbagai informasi terkini, termasuk yang berhubungan dengan
bimbingan dan konseling. Sedangkan secara langsung, bisa dilakukan dengan cara
melibatkan diri dalam berbagai aktivitas forum keilmuan, seperti : seminar,
penataran dan pelatihan, atau mengikuti kegiatan MGP seperti sekarang ini.
Bahkan, akan lebih baik jika timbul kemauan untuk berusaha menuntut ilmu
melalui jenjang pendidikan formal.Kita maklumi bahwa saat ini latar belakang
pendidikan yang dimiliki oleh konselor masih beragam, baik dilihat dari program
studi/jurusan maupun jenjangnya. Bagi konselor yang berlatar belakang
pendidikan program studi bimbingan, barangkali tidak ada salahnya untuk berusaha
menempuh pendidikan lanjutan pada jenjang yang lebih tinggi. Sementara, bagi
kawan-kawan konselor yang kebetulan bukan berlatar belakang pendidikan
bimbingan, dalam rangka memantapkan diri sebagai konselor, tidak ada salahnya
pula untuk mencoba terjun menekuni dunia akademis dalam bimbingan dan
konseling. Sehingga pada gilirannya, dalam melaksanakan berbagai tugas
bimbingan, konselor benar-benar telah ditopang oleh fundasi keilmuan yang
mantap dan memadai.Sedangkan untuk meningkatkan keterampilan berbagai teknik
bimbingan, salah satu cara yang dipandang cukup efektif adalah dengan berusaha
secara terus menerus dan seringkali mempraktekkan berbagai teknik yang ada.
Misalkan, untuk menguasai teknik-teknik konseling, tentunya konselor harus
mempraktekkan sendiri secara langsung, dan setiap setelah selesai
mempraktekkan, diikuti dengan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan.
Kemudian, membandingkannya dengan keharusan-keharusan berdasarkan teori yang
ada, sehingga akan bisa diketahui kelemahan dan keunggulan dari praktek yang
telah dilakukan. Memasuki tahap praktek konseling berikutnya tentunya sudah
disertai usaha perbaikan, dengan bercermin dari kekurangan- kekurangan pada
praktek konseling sebelumnya. Hal ini secara terus menerus dilakukan dari satu praktek
konseling ke praktek konseling berikutnya, dan sebaiknya disertai pula dengan
pencatatan terhadap apa-apa yang telah dilakukan yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan refleksi sekaligus sebagai bukti fisik dari usaha ilmiah.
Berbekal kesabaran dan ketekunan, usaha ini niscaya pada akhirnya akan dapat
mengantarkan sampai pada taraf yang dikehendaki. Walaupun demikian perlu
dicatat, bahwa keleluasaan dalam menjalankan tugas ini tidak diartikan segala
sesuatunya menjadi serba boleh, hal-hal yang menyangkut prinsip dan
etika profesi bimbingan tetap harus dijaga dan dipelihara, sejalan dengan
tuntutan profesionalisme.2. Akuntabilitas Kerja KonselorPada masa
sebelum diberlakukan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS),
akuntabilitas kerja konselor memang tidak jelas. Sekalipun ada, barangkali
hanya sebatas di hadapan kepala sekolah ataupun pengawas sebagai petugas yang
mewakili pihak pemerintah. Namun pada kenyataannya, seringkali kepala sekolah
atau pengawas mengambil sikap permisif atas hasil kerja yang ditunjukkan
konselor, padahal hasil kerja yang ditunjukkan sama sekali tidak bermutu.
Akuntabilitas semacam ini tentunya tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan
kinerja dan produktivitas konselor.Memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS), dengan sendirinya akuntabilitas konselor semakin
luas, tidak hanya dihadapan kepala sekolah ataupun pengawas, namun mencakup
seluruh pemegang saham (stake holder) dalam bidang pendidikan, terutama
masyarakat dan orang tua siswa.
Bagaimanapun
masyarakat, khususnya orang tua siswa telah rela berkorban mengeluarkan
sejumlah dana untuk kepentingan pendidikan anaknya. Jadi wajar sekali, kalau
saja mereka menuntut pertanggungjawaban kepada sekolah dan kepada konselor
khususnya atas hasil-hasil kerja yang telah dilakukan, demi keberhasilan dan
kemajuan peserta didik. Artinya, jumlah dana yang dikeluarkan oleh
orangtua/masyarakat seyogyanya dapat sebanding dengan hasil yang dicapai, dalam
bentuk kemajuan dan keberhasilan pendidikan anaknya di sekolah.
Dengan
adanya akuntabilitas ini, jelas konselor dituntut untuk lebih meningkatkan mutu
kinerja dan tingkat produktivitas dalam memberikan layanan bantuan terhadap
para siswa. Jika hal ini tidak terpenuhi maka konselor harus bersiap-siap untuk
menerima berbagai complain dari masyarakat yang mungkin tidak
mengenakkan. Apalagi dengan kehadiran Komite Sekolah yang dianggap sebagai
lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat, maka masyarakat akan jauh lebih
terbuka dan leluasa untuk menyampaikan berbagai ketidakpuasan atas hasil-hasil
kerja yang telah dicapai oleh konselor. Tentu saja, kita tidak menghendaki
hal-hal seperti itu. Tak ada cara lain untuk mengantisipasinya, kecuali dengan
menunjukkan bukti-bukti nyata atas segala hasil kerja kita. Manakala kita telah
berhasil membuktikan hasil-hasil kerja yang menggembirakan dan memberi kepuasan
kepada masyarakat, bersamaan itu pula akan tumbuh kepercayaan terhadap sekolah,
khususnya kepada bimbingan dan konseling. Dan pada gilirannya, tidak akan ada
keraguan lagi dari masyarakat untuk memberikan dukungan penuh terhadap sekolah,
khususnya kepada bimbingan dan konseling untuk terus melaksanakan kiprahnya.
Dalam hal ini, berapa besar dana yang harus dikeluarkan tidak lagi menjadi
persoalan besar, yang penting prestasi anak benar-benar dapat terwujudkan
dengan baik, baik dalam akademik maupun non-akademik
3. Konselor Sebagai Agen Informasi
Penerapan Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya kewenangan
sekolah dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat
berusaha melibatkan diri dalam berbagai proses pengambilan keputusan.
Karena,
bagaimanapun konselor bisa dianggap sebagai “orang yang paling banyak tahu”
tentang keadaan siswanya secara personal. Dengan kata lain, konselor dianggap
sebagai orang yang memiliki informasi atau data tentang siswa yang lebih
lengkap dan memadai. Informasi atau data tentang siswa ini ini sangat berguna
dan dapat dijadikan dasar untuk berbagai pengambilan keputusan sekolah yang
berkenaan dengan siswa. Oleh sebab itu, informasi harus diadministrasikan
sedemikian rupa dan siap saji (ready for use), kapan saja diperlukan.
Bahkan bila perlu, pengadminstrasian informasi ini dilakukan secara computerize,
karena saat ini telah dikembangkan berbagai software, yang berhubungan
dengan data siswa, seperti Program DataSis dan Program Alat Ungkap
Masalah (AUM) yang dikembangkan Prof. Dr. Prayitno. Atau secara kreatif,
konselor dapat menciptakan berbagai software tentang bimbingan dan
konseling sesuai dengan kebutuhan kerja, yang sekiranya dapat membantu
mempermudah pengadministrasian dan penyajian data. Dengan sendirinya, dalam hal
ini konselor dituntut untuk memahami dan menguasai teknologi komputer.
Hal yang
perlu dicermati, bahwa dalam mengkomunikasikan informasi tentang siswa kepada
pihak-pihak terkait, seperti kepala sekolah, dewan sekolah atau siapa pun,
konselor harus dapat memilah dan memilih jenis informasi apa saja yang boleh
dan tidak tidak boleh untuk disampaikan. Tentu saja, informasi-informasi yang
berkenaan dengan “ prinsip kerahasiaan klien “ harus tetap dijaga sebaik
mungkin.
Dalam
mengkomunikasikan informasi-informasi tentang siswa, yang berkaitan dengan
proses pengambilan keputusan, khususnya dalam forum Komite Sekolah, konselor
hendaknya dapat menyampaikan pandangan-pandangannya secara tegas, yang berpihak
pada kepentingan siswa itu sendiri. Walau pun mungkin akan didapatkan berbagai
benturan sosial di dalamnya, karena pemahaman dan persepsi anggota Komite
Sekolah tentang bimbingan dan konseling akan sangat beragam bahkan mungkin
sangat kurang.
Satu hal
lagi bahwa dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS), upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan bimbingan ini
konselor hendaknya memperhatikan pengembangan kerja sama, koordinasi dan
sinergis kerja dengan berbagai komponen pendidikan lainnya. Karena dalam
penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS),
keberhasilan pendidikan di sekolah tidak lagi didasarkan pada individual yang
cerdas, akan tetapi sangat mengutamakan pada team work yang cerdas dan
kompak. Untuk itulah, konselor sedapat mungkin harus menjadi bagian utama dari team
work tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar