Oleh: Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar
Menjadi
matematikawan? Itu ilmu “ningrat” – pening tapi melarat. Sekolahnya
susah, tapi setelah lulus cari kerja juga susah. Paling nanti jadi guru …
Ini adalah ucapan seorang tua pada anaknya yang kelihatan cerdas. Si orang tua
ingin anaknya jadi insinyur atau dokter, atau akuntan, atau pengacara,
profesi-profesinya yang secara materi jelas lebih menjanjikan daripada profesi
ilmuwan seperti matematikawan. Sekolah untuk profesi-profesi itu yang susah
hanya saringan masuknya karena begitu banyak orang yang berminat, dan begitu
sedikit kursi yang tersedia. Selebihnya, proses belajar mengajarnya tidak
sesulit jurusan matematika.
Tetapi
matematika adalah indikator peradaban. Setiap kali anthropolog, arkeolog
atau sejarawan menemukan bahwa suatu etnik atau suatu peradaban
di suatu masa telah menyibukkan diri dengan matematika, maka mereka mengidentifikasi bahwa etnik atau peradaban itu telah maju. Dalam dunia ilmiah ini disebut “etnomathematics”.
di suatu masa telah menyibukkan diri dengan matematika, maka mereka mengidentifikasi bahwa etnik atau peradaban itu telah maju. Dalam dunia ilmiah ini disebut “etnomathematics”.
Banyak
bangsa kuno yang telah menyibukkan diri dengan matematika. Bangsa Mesir kuno
pun dalam membangun piramidnya tidak mungkin bekerja tanpa matematika, dalam
hal ini geometri. Bangsa Maya di Amerika sebelum kedatangan orang Eropa juga
telah menyibukkan diri dengan matematika, yang tercermin pada sistem kalender mereka
yang amat rumit dan teliti. Hal serupa juga ada pada bangsa Yunani, India dan
Cina. Ornamen-ornamen di istana atau tempat ibadah mereka menunjukkan bahwa
mereka memiliki cita rasa matematika.
Namun
dari berbagai kajian etnomatematika itu, yang paling menarik adalah dari
peradaban Islam. Matematika Islam adalah satu-satunya fenomena matematika yang
menggabungkan unsur transendental (mendekatkan diri kepada Tuhan) dengan unsur
praktis. Ornamen simetri geometri seperti pada peradaban Yunani, India dan Cina
juga ditemukan dalam peradaban Islam, namun dengan tingkat kerumitan yang lebih
tinggi. Ornamen ini juga tidak cuma dibuat dengan teknik replikasi/pengulangan,
tetapi bahkan dirumuskan secara hitungan matematika, yakni melalui deret
binomial. Dengan
matematika ini bisa dihitung secara akurat panjang atau luasan benda itu secara fisis, misalnya jumlah batu atau volume cat berwarna tertentu yang dibutuhkan.
matematika ini bisa dihitung secara akurat panjang atau luasan benda itu secara fisis, misalnya jumlah batu atau volume cat berwarna tertentu yang dibutuhkan.
Muhammad
al-Khawarizmi (abad 9 M) yang pernah menjabat Mas’ul Baitul Hikmah di Baghdad
dan penemu aljabar ternyata juga inovator beberapa deret matematika yang bisa
diwujudkan dalam pola-pola simetri komplek / rumit yang sangat indah.
Pekerjaan al-Khawarizmi ini kemudian dilanjutkan antara lain oleh Muhammad
al-Karaji (abad 10 M), yang melengkapi matematika dengan aljabar kalkulus. Dia
bisa membuktikan kebenaran hasil suatu deret dengan nilai sangat besar cukup
secara induksi matematika, tanpa perlu lagi menggunakan geometri.
Dua
ratus tahun setelah al-Karajji, Umar Khayyam (abad 12 M) yang lebih terkenal
sebagai penyair, melakukan pekerjaan penting dalam matematika dan astronomi,
yakni memecahkan persamaan pangkat dua, tiga, hingga pangkat tinggi (disebut
juga “persamaan pangkat n”). Dengan demikian Umar Khayyam telah
mendirikan disiplin baru: “algebraic geometry”. Apa yang dilakukannya ini
500 tahun lebih awal dari matematikawan Italia Ferro dan Tartaglia.
Algebraic-geometri ini
membuka jalan Nasiruddin at-Tusi untuk mengembangkan trigonometri sferis, yakni
menghitung sudut dan jarak di atas permukaan bola. Umat Islam saat itu sudah
yakin bahwa bentuk bumi adalah mirip bola, sehingga mereka melakukan astronomi
praktis untuk keperluan navigasi di laut maupun untuk pemetaan di darat menggunakan hitungan trigonometri sferis. Pada bidang datar, jumlah sudut segitiga adalah 180 derajat. Tetapi di permukaan bola, jumlah sudut segitiga bisa lebih dari 180 derajat. Inilah temuan penting matematikawan Muslim, ketika dunia Barat saat itu bahkan masih meragukan bahwa bumi adalah bola.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar